Tak pernah terbayangkan bahwa aku akan menjadi seorang ibu dari seorang anak berkebutuhan khusus (ABK), dengan kelainan langka yang rumit, bahkan hingga kini, usianya 2 tahun 10 bulan, kami masih belum mengetahui diagnosa utama dari sindromnya sehingga masih banyak teka-teki kepingan puzzle yang harus kami temukan dan susun meski tanpa petunjuk yang jelas.
Memiliki anak dengan kelainan langka yang rumit tanpa tahu diagnosa utamanya, sungguh merupakan tantangan besar bagiku, menguji kekuatan mental, menantang kemampuanku terus belajar dan beradaptasi, membuatku harus mampu menundukkan ego, ketakutan, kegilaan dalam diriku sendiri.
Awal kelahiran Kirana, awal di mana aku baru mengenal apa itu Pierre Robin Sequence, awal di mana aku belum mampu membayangkan sebesar apa tantangan ini, awal di mana aku harus mulai beradaptasi dengan segala aktifitas yang menguras tenaga dan pikiran, awal dari kisah panjang istimewa, kala itu aku tak merasa melalui apa yang disebut fase denial, aku merasa baik-baik saja dengan diagnosa awal yang ku dengar, aku segera mencari informasi, tanpa sempat berlama-lama menangisi keadaan, aku bahkan tak menangis, aku merasa bahwa aku tak boleh terpuruk, bahwa aku harus kuat agar Kirana pun menjadi kuat, aku merasa bahwa segalanya harus berjalan baik dan cepat agar aku bisa segera mengetahui kondisi Kirana secara menyeluruh, semua pemeriksaan serta konsultasi harus segera dilakukan dengan cepat dan paralel agar aku bisa segera mengetahui bagaimana prognosis dari segala kondisi Kirana, dan tentu saja melakukan perbaikan, mungkin kala itu aku masih bisa dikatakan perfeksionis dalam hal terkait Kirana dan sikap suami.
Ya, aku mengharapkan sosok suami hadir mendampingiku, menjadi tempatku bersandar demi recharge energi, mengusir lelah dan sedih, aku berharap sosok suami yang mau memahami tekanan mental dan fisik yang aku alami, aku berharap sosok suami yang IDEAL mendampingi istri di masa berat tersebut.
Kala itu, aku harus memilih cara EPing karena resiko besar jika Kirana menyusu langsung, jalan nafasnya bisa tertutup dan aku bisa saja kehilangan Kirana untuk selamanya. EPing membuatku harus selalu perah ASI setiap 2-3 jam sekali dengan durasi 30-60 menit setiap sesinya, ini dilakukan selama 24 jam, terus-menerus, tanpa kenal waktu istirahat apalagi libur, dan ini artinya aku hanya punya sisa waktu 2-2,5 jam di antara jeda sesi perah.
Selama Kirana berada di RS, aku bisa menggunakan jeda waktu di antara sesi perah tersebut untuk istirahat, mengurus hal lain termasuk mengurus Kasih, namun ketika Kirana pulang ke rumah, di usianya 1 bulan, maka aku juga harus membagi waktu untuk menyuapi dia ASIP.
Kirana minum ASIP setiap 3 jam sekali, selama 24 jam, atau 8 kali dalam sehari, dan rupanya menyuapi Kirana adalah sebuah tantangan yang tak mudah, sesi minumnya menghabiskan waktu rata-rata 1-2 jam. Bisa dihitung, bahwa jadwal perah dan jadwal minum per 3 jam, jika perah menghabiskan waktu 1 jam dan menyuapi bisa menghabiskan waktu hingga 2 jam, makan habislah sudah seluruh waktuku selama 24 jam, tak tersisa untuk istirahat, atau sekedar meluruskan kaki, padahal aku juga harus mengurus Kasih.
Di sinilah titik di mana aku semakin frustasi, ditambah dengan sajian kondisi Kirana yang tidak begitu menyenangkan, di mana aku harus terus menyaksikan dia yang tampak sulit bernafas, tampak sesak, nafasnya berbunyi kencang (stridor), batuknya yang tampak buruk meski hanya tersedak liurnya sendiri, pertambahan berat yang termasuk lambat, perasaan bahwa ada yang tak beres dengan perkembangan, fungsi pendengaran dan penglihatannya, dst dst.
Dari waktu ke waktu, aku semakin banyak menemui dokter, semakin bertambah pula diagnosa baru atas diri Kirana, yang sebagian besar aku terima seorang diri, tanpa ada teman untuk bercerita lepas dan sekedar menangis dipelukannya.
Apalagi rupanya harapanku tentang sosok suami yang akan hadir mendampingiku, harapanku bisa bergerak cepat untuk memeriksakan Kirana, semuanya tak terwujud semulus rencanaku, lengkap sudah keruwetan hidupku saat itu, semuanya jauh dari ekspektasiku.
Aku pun merasa kecewa, marah, lelah luar biasa, hingga aku merasa mungkin aku sudah gila.
Aku ingin pergi dari rumah, emosiku tak karuan, aku ingin mengakhiri pernikahanku bahkan hidupku.
Ya, semua keinginan tersebut sempat singgah di benakku.
Aku sakit, bukan hanya sakit secara fisik, tapi juga sakit jiwaku.
Ketika aku sampaikan perasaan dan kekhawatiranku terhadap post partum depression (PPD), suamiku justru berkata,"Sudahlah, kamu jangan mencari pembenaran diri.".
Betapa aku merasa semakin kecewa, marah kepada dia yang aku harap mengisi ruang kosong di hatiku ketika semua terasa begitu buruk dan aku terpuruk, ternyata justru menamparku dengan kata-katanya.
Beberapa kali aku jatuh sakit, sendiri di rumah, dan harus tetap tegap berdiri melakukan semuanya, memikirkan segala kemungkinan yang ada pada diri Kirana, sementara suamiku begitu sibuk dengan urusan pekerjaannya, hingga dia jarang sekali pulang, dan komunikasi kami juga tidak lancar.
Beberapa orang telah berkata,"Lo yakin laki lo itu gak main gila?", di saat hampir bersamaan, muncul sms gelap mengaku seorang wanita yang sangat membutuhkan suamiku, memintaku menemuinya.
Aku tak tahu apakah aku memang mengalami PPD atau tidak, karena aku tidak pernah sekalipun menemui psikolog ataupun psikiater, tapi yang jelas aku tahu, bahwa aku merasa kewarasanku di ujung tanduk, aku telah menyakiti anak-anakku dengan emosiku yang meluap, ya aku pasti telah menorehkan banyak luka batin bagi mereka.
Kegilaanku bukan datang dari rasa denial.
Perfeksionis, kelelahan yang luar biasa, kekecewaan dan amarah yang memuncak, semuanya membakarku, mengikis kewarasanku, jika saja Tuhan tidak menyisakan sedikit kewarasan dan ketakutan dalam hatiku, mungkin saat ini aku tak lagi bisa menuliskan kisah ini.
Ya, bukan hanya sedikit kewarasan, Tuhan masih menganugerahi aku dengan sedikit ketakutan, hingga ketika muncul pikiran untuk pergi, mengakhiri pernikahan bahkan hidupku datang menghampiriku, aku masih takut, membayangkan bagaimana dengan anak-anakku nanti, bagaimana dengan Kirana yang kondisinya tak mudah dimengerti, bagaimana, bagaimana, bagaimana....
Sedikit rasa takut tersebut juga telah menyelamatkan jiwaku, menyelamatkan pernikahanku.
Aku pun mengalah, aku memutuskan untuk berhenti.
Berhenti mengharapkan sosok ideal seorang suami.
Berhenti memaksa diriku melakukan semuanya dengan cepat.
Berhenti mengharapkan segalanya sempurna sesuai rencana dan harapanku.
Aku pun mulai menurunkan standar harapanku, mulai belajar memaafkan diri sendiri, dan memaafkan suamiku.
"Hey. Aku hanya seorang manusia biasa, aku hanya seorang ibu biasa. Aku bukan ibu peri yang selalu tampak lemah lembut, baik hati, gak pernah marah. bukan malaikat yang tanpa cela. Bukankah melakukan salah itu hal manusiawi? Aku harus bisa survive, jika tak ada yang bisa membantu, maka lakukan lah sendiri, aku pasti bisa!"
"Hey. Suamiku harus bekerja ekstra, karena kebutuhan hidup kita memang besar, dia tidak sedang bermain gila, aku mengenalnya begitu baik sejak bertahun-tahun lalu. Doakan dia dalam kebaikan."
Beruntung kala itu aku telah memiliki Tambah ASI Tambah Cinta, di grup itu aku memaksa diri berputar, mengubah energi negatif menjadi positif dengan cara membantu orang lain, meski hanya di dunia maya, aku tetap mencoba membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar ASI, menyusui, dll, dan ketika ada yang menyampaikan terima kasihnya karena telah bisa menyusui, atau minimal ketika aku tahu kalau ada yang terbantu, di kala itulah aku sedang menyembuhkan diriku sendiri.
Ini juga kurasakan setiap kali aku bisa melihat orang lain merasa terbantu, bahagia atas apa yang telah aku lakukan, baik itu di TATC, Dunia Karya Special Needs, Sahabat PRS, maupun Indonesia Rare Disorders.
Aku juga merasakan betapa Tuhan sungguh baik, berulang kali datang pertolongan-Nya tepat di saat aku membutuhkan, melalui tangan-tangan yang tak terduga.
Di usia Kirana sekitar 5 bulan, seorang teman memberikan Haberman Feeder, di usia Kirana sekitar 8 bulan, seorang teman lainnya menghibahkan breastpump dengan sistem double pump, dan semua ini membuatku lebih bisa mengefisienkan waktu untuk perah dan menyuapi Kirana, sehingga perlahan aku memiliki sedikit waktu lebih untuk beristirahat.
Perlahan tapi pasti, kelelahanku berkurang, ekspektasiku menurun, aku mulai merasakan perubahan kecil.
Di saat yang sama, aku merasakan perubahan kecil juga pada sikap suamiku, perubahan kecil ke arah positif.
Aku tak bisa mengatakan apakah kini aku sudah 'sembuh', tapi aku bisa katakan bahwa kini aku merasa jauh lebih baik, hubunganku dengan suami juga membaik, meski memang belum 100%.
Tak mudah memang.
Sangat tak mudah untuk bisa keluar dari kondisi di mana aku merasa sudah gila, berjuang sendiri, menaklukkan diri sendiri, menaklukkan ego, gengsi, kesombongan yang ada di dalam diri sendiri, memaafkan diri sendiri, memaafkan hal-hal yang telah membuat aku kecewa setengah hidup, sungguh bukan hal mudah, juga bukan hal yang menyenangkan. Tapi percayalah, ini bukan hal mustahil, dan ketika kita bisa melaluinya, kita akan merasakan menemukan diri yang lebih baik.
Semua butuh proses, maka jadikan semua hal menjadi proses untuk menjadikan diri yang lebih baik.
Menjadi stress, depresi, bukanlah hal yang memalukan, bukan karena kurangnya iman, bukan karena kita kurang bersyukur, tapi karena kita adalah MANUSIA.
Jakarta, 7 Desember 2016