Selasa, 10 April 2018

HIJRAHKU SEPANJANG HIDUP

Hijabku, hanya sebagian kecil dari perjalanan hijrahku.

"Mba, sesekali cerita doonk proses hijrahmu."

Beberapa orang memintaku mengisahkan proses hijrahku, sejak mereka melihat aku mengenakan hijab.

"Ceritanya dapat hidayah nih mba, koq sekarang pakai hijab?"
Demikian ujar seorang tukang fotocopy yang biasa kukunjungi, dia tampak menatapku dengan ekspresi takjub.

Tapi apakah hanya karena hijab, lalu baru kau kira aku sedang berhijrah atau dapat hidayah?

Apa sih yang dimaksud hijrah?
Proses hijrah? Seumur hidup sih kalau menurutku, dan ini secuil proses hidupku


Apa sih hijrah itu?

Hijrah adalah mulai kembali kepada kehidupan beragama, berusaha mematuhi perintah Allah, menjauhi larangan-Nya dan berusaha menjadi lebih baik, karena sebelumnya tidak terlalu peduli atau sangat tidak peduli dengan aturan agama. Istilah ini dibenarkan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa orang yang berhijrah (muhajir) adalah orang yang meninggalkan larangan Allah dan kembali kepada Allah dan agamanya. (Sumber : web muslim)

Dalam Islam, ada dua jenis hijrah: pertama, hijrah zahir (fisik), yaitu berpindah tempat tinggal, dan kedua, hijrah jiwa (spiritual), yaitu berpindahnya keadaan jiwa ke arah yang lebih baik. (Sumber : NU online)

Aku sendiri memaknai hijrah sebagai usaha mengubah diri jadi lebih baik, memperbaiki akhlak.
Maka sejatinya, setiap manusia sedang dalam perjalanan berhijrah, karena pada dasarnya manusia pasti ingin jadi lebih baik.
Siapa sih yang punya cita-cita jadi manusia yang lebih buruk?
Maka bagiku, proses hijrah adalah seluruh proses hidupku, dari kecil hingga kini.


MASA KECILKU

Aku terlahir dari orangtua yang beragama Islam, namun omaku masih beragama Nasrani, dan aku sendiri mengenyam sekolah berbasis agama Nasrani sejak TK hingga SMP, sementara saat SMA, aku masuk SMA negeri, dan memilih tetap mengambil pelajaran agama Nasrani, kenapa? Karena aku sama sekali tidak mengenal agama Islam, tidak bisa membaca huruf Arab, tidak bisa sholat, tidak bisa mengaji, dll.
Mengapa bisa seperti itu?
Karena aku tidak ingin belajar.

Jujur saja, aku merasa trauma dengan Islam, boleh lah kau sebut aku Islamphobia, aku tak suka dengan sikap sebagian orang yang mengaku beragama Islam.
Seperti kusebutkan di atas, aku mengenyam sekolah berbasis pendidikan agama Nasrani, hingga aku tak mengenal apa itu Islam, yang aku tahu, di sekolah guruku mengajarkan bahwa semua manusia sama, sama-sama harus dikasihi, dihargai, dihormati, dan bahwa mereka yang berbuat baik, bisa masuk surga, dan sebaliknya, mereka yang berbuat jahat, bisa masuk neraka, tak ada pengkotakkan berdasarkan agama tertentu, dan itulah yang aku pahami, hingga suatu ketika, aku tahu seseorang diberikan nilai buruk hanya karena mempertanyakan pernyataan bahwa hanya orang Islam yang bisa masuk surga.
Saat itu aku masih kecil, aku hanya berpikir, mengapa ada manusia seangkuh itu? Merasa pasti bisa masuk surga hanya karena suatu agama? Bisa mengatakan bahwa orang lain tak memiliki kesempatan masuk surga karena alasan agama? Bukankah dia juga hanya manusia, bukan Tuhan?
Mungkin saat itu jiwaku terluka, hatiku bingung.

Aku bertumbuh semakin besar, dan mulai bisa berpikir,"Ah itu hanya oknum, agama tak pernah salah koq, agama mengajarkan kebaikan, bukan kesombongan."

Saat SMA, aku mulai berpikir untuk mulai belajar tentang Islam, kebetulan ada seorang guru agama yang aku rasa bersikap baik, dia menunjukkan kelembutan, tidak menyudutkanku sama sekali, dan membuatku tertarik untuk belajar.
Tapi sialnya, ada seorang guru lain yang merusak keinginanku dengan pernyataannya, dan membuatku batal untuk belajar, guru ini membuka luka lamaku, mengingatkanku pada orang-orang yang menyudutkanku.

"Kamu mau, cape-cape ke Gereja, doain orangtuamu, tapi gak didengar Tuhan?"
Ya, demikian dia berucap dengan nada dan ekspresi yang menyudutkanku, saat tahu orangtuaku beragama Islam, sementara aku memilih pelajaran agama Kristen di sekolah.
Ya, aku kembali mundur.

Pernah juga suatu ketika, aku bertanya tentang nabi Muhammad, lalu aku justru dihardik,"Kamu orang Islam bukan? Kalau bukan, jangan banyak bertanya tentang Islam!"
Begitulah..... Itu hanya sebagian....

Tapi sayangnya, semua kejadian itu hanya semakin membuat aku menjadi jauh, jiwaku terluka dan bingung, sementara mereka dengan caranya yang menyudutkanku sama sekali tidak memeluk dan merangkul jiwaku.

Tapi tahukah kamu? Seumur-umur tak ada yang pernah mempengaruhiku untuk pindah agama, dan aku masih meyakini bahwa Tuhan itu 1, tiada sekutu bagi-Nya, dan Dia tidak memiliki anak (dalam arti biologis atau harafiah), aku juga masih meyakini bahwa rencana Tuhan selalu sempurna, tak akan pernah salah, dan tidak bermaksud buruk. Apakah ini iman? Aku juga tak tahu, biarlah Allah yang menilai diriku.


KEHADIRAN LELAKIKU

Tahun 2003, aku mulai menjalin hubungan dengan seorang lelaki, dia tak pernah menggugat keyakinanku, tak pernah memaksaku untuk melakukan ini dan itu, dia pernah kuceritakan traumaku terhadap agama yang tertera di KTP ku, dan dia tak pernah marah atau menyudutkanku karena hal tersebut, meski dia tahu, aku tak bisa sholat, tak mengenal Islam, dia hanya mencoba menunjukkan dari sikapnya.

Lelakiku ini memiliki orangtua yang taat beragama, namun mereka juga tak pernah menyudutkan aku, juga tidak mempengaruhi aku, cukuplah aku menyaksikan mereka dan cara mereka bersikap kepadaku.

Perlahan keinginanku untuk belajar kembali tumbuh, tapi traumaku masih menghalangiku, hingga suatu ketika, di tahun 2004, aku menyampaikan sebuah niat kepada lelakiku itu.

"Kalau nanti aku bisa menunjukkan prestasi terbaikku, aku mau belajar sholat, tolong ajari aku."
"Apa itu artinya, kalau kamu dapat emas? Kalau gak dapat emas, kamu gak mau belajar?"
"Prestasi terbaikku bukan dibuktikan oleh medali, kita lihat saja nanti."
Itulah awalnya, alhamdulillah dalam pertandingan itu, aku merasa menunjukkan prestasi terbaikku, meski bukan medali emas, tapi aku melihat bagaimana ketua Pengda TI DKI Jakarta saat itu merasa senang, dan beliau menyampaikan rasa senangnya langsung kepadaku, dan aku pun memenuhi janjiku untuk belajar sholat, dibimbing oleh lelakiku, dia juga mengajariku iqro.

Awalnya sulit sekali bagiku, menghafalkan bacaan-bacaan sholat dalam bahasa Arab, tapi katanya, aku boleh sholat sambil nyontek dari buku hehehehehe.
Cukup lama sebenarnya, aku tak bisa mengingat bacaan tahiyat awal dan akhir, namun suatu hari, entah bagaimana caranya, tiba-tiba aku bisa hafal, rasanya agak ajaib sih untukku, setelah sekian lama mencoba menghafal dan gagal, tapi saat itu tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja bisa hafal, dan sejak itu aku resmi gak nyontek lagi hehehehehe.

Lalu apakah sejak itu aku jadi tertib sholat? TIDAK!
Aku melakukan sholat seperti hanya sebuah kewajiban saja, kalau ada temen yang ngingetin atau ngajak sholat, yah aku sholat, kalau gak yaah santai saja, tapi setidaknya aku sudah bisa.


KEINGINAN BERHIJAB

Sebenarnya lama kupendam keinginan untuk berhijab, mungkin sekitar tahun 2008, entah untuk alasan apa, rasanya hanya ingin, tapi keinginan itu belum genap, aku merasa belum cukup baik.

"Hijab itu wajib bagi perempuan yang sudah baligh."
Ini yang sering dikatakan orang-orang, tapi bagiku, hal tersebut tak ada pengaruhnya, jangankan hijab kau katakan wajib, bahkan sholat yang lebih wajib pun tidak aku lakukan dengan baik, ah yang penting aku berpakaian masih dalam batas kesopanan.

Dan lelakiku, yang telah mengenalku sejak lama, menikahi aku di tahun 2009, dia tak pernah memaksaku untuk mengubah penampilanku, tak memaksakan kehendak agar aku begini begitu.
Maka keinginanku itu cukup kusimpan saja, mungkin suatu saat aku akan mewujudkan keinginan tersebut, yang penting, aku terus berusaha menjadi lebih baik.


PROSES HIDUP

Jika kini kau katakan bahwa aku adalah wanita yang kuat atau bahkan berhati besar, ketahuilah, aku yang kini kau kenal adalah hasil proses kehidupanku yang juga penuh tantangan.

Jika katanya ujian seseorang bisa datang dari orangtua, anak, pasangan, teman, ekonomi, dll dll, kurasa aku mengalami beberapa di antaranya, bahkan sebagian orang menganggap apa yang aku alami adalah hal-hal berat.

Aku pernah dihina, dilecehkan, di-bully, dikhianati, disumpahi, dibohongi, difitnah, aku pernah.
Rasanya ketika 1 tantangan berlalu, akan datang tantangan baru, yang lebih berat, mungkin aku telah lulus di tantangan sebelumnya maka Allah datangkan yang lebih berat hehehehe.

Dikatain murahan, gampangan? Aku pernah.
Disumpahi celaka? Aku pernah.
Dibilang durhaka? Aku pernah.
Dibilang bengis, biadab, jahat, kejam? Aku pernah.
Dikhianati keparcayaannya? Aku pernah.
Anak yang berkebutuhan khusus? Aku punya.
Hubungan pernikahan yang buruk? Aku pernah
Dll

Berkali-kali aku bertanya dalam hati,"Kenapa aku?"
Setiap kali ada hal yang kurasa berat menimpaku, aku akan bertanya demikian, tapi percayalah, tak pernah sekalipun aku menyalahkan Tuhan atau menganggap Dia tak adil, aku hanya menerka mengapa aku yang mengalaminya, yah hanya tanya sesaat.

"What doesn't kill you, will make you stronger"
Aku percaya masalah, ujian, tantangan diberikan bukan karena Allah jahat, tapi justru karena Dia masih sayang, makanya Dia mau aku terus meng-up grade diriku, dan selalu memberikan soal yang lebih berat setiap kali 1 tantangan kuselesaikan, dan aku juga yakin bahwa Dia berikan tantangan yang akan bisa kuselesaikan.



TANTANGAN BERAT


Aku bukan manusia relijius yang taat beribadah, sungguh aku tidak seperti itu, aku hanya membawa keyakinan bahwa Tuhan itu ada, dan Dia baik.

Tahun 2014, aku melahirkan anak ke 2 ku, dia terlahir spesial, dengan kondisi yang sungguh-sungguh rumit bagiku, dia hadir di saat hubungan pernikahanku tak sehat, dan bersamaan dengan kehadirannya, tentu saja kebutuhan finansial keluargaku ini melejit naik, karena biaya untuk perawatan ABK jauh lebih tinggi dibandingkan anak pada umumnya, meski kami menggunakan BPJS, tapi masih ada biaya yang tak ditanggung, seperti biaya transport, padahal jarak rumah ke RS cukup jauh, tak kurang dari 30 km.
Imbasnya? Lelakiku harus merelakan waktunya demi terus mencari nafkah bagi kami, hingga kami jarang berkumpul.

Aku yang saat itu masih memiliki ego dan harapan yang tinggi, merasa marah, kecewa, dan hampir gila.
Ya, aku merawat 2 buah hati kami, mayoritas sendiri, padahal anak ke 2 kami begitu istimewa, aku harus menghadapi kondisi yang sulit, berkali-kali menghadapi dokter dan mendengar diagnosa demi diagnosa, tak kurang dari 20 diagnosa yang kuterima atas diri putri kami yang mengalami kelainan genetik 5p15.33-p14.3deletion (Cri du Chat Syndrome).
Aku sendiri bukan dalam kondisi kesehatan yang prima, maka semua rasa bertumpukan, dan membuat hubungan pernikahanku semakin memburuk.

Hingga tahun 2015, dokter menyatakan bahwa aku mengalami ACL rupture, dan menyarankan operasi, setelah itu, suamiku mulai menampakkan perubahan baik, dia mulai mengupayakan pulang setiap kali ada jadwal ke RS, namun kukira itu hanya karena dia kasihan padaku.

Akhir Agustus 2017, kami bertengkar hebat hingga aku merasa sangat lemah, mungkin itu adalah kondisi terlemahku jika dibandingkan sebelumnya, rasanya berat sekali, hingga aku seperti tak sanggup menahan beban masalahku lagi, di saat terendahku itu, spontan aku berserah,"Ya Allah, aku sudah lakukan apa yang menjadi bagianku, selanjutnya kuserahkan kembali kepada-Mu, terjadilah padaku apa yang menjadi kehendak-Mu."
Aku merasa lebih tenang dan ringan, meski masih ada sesak, sedih dan marah kurasa, air mataku belum mengering.

Sejak itu, aku mulai mencoba diam, berpikir dan interopeki diri, entah mengapa aku merasa bahwa Allah sedang menyapaku dengan lembut, Dia menunjukkan cinta-Nya padaku, Dia ingin aku kembali berpaling kepada-Nya, Dia ingin aku menyadari bahwa tak ada yang dapat kupercaya selain Dia, bahwa hanya Dia yang tak akan ingkar dan mengecewakan aku.

"Ya Allah, apakah sedemikian besar cinta-Mu kepadaku, hingga Kau memanggilku kembali seperti ini? Tapi apakah aku pantas menerima cinta sebesar ini? Mengapa aku yang Kau pilih? Bukankah masih banyak manusia yang lebih pantas daripada aku?"
Pertanyaan demi pertanyaan berputar, rasa takut masih menguasaiku, air mata kembali mengalir, dan entah bagaimana, aku akhirnya mengambil Alqur'an, meski aku tak tahu bagaimana cara membacanya. Mungkin karena aku ingat pesan lelakiku,"Kamu buka Alqur'an, kamu baca saja terjemahannya, buka secara acak, coba kamu pahami isinya."
Ya, mungkin karena itu, dan Allah menggerakkan aku untuk melakukannya.

1 pertanyaan terlintas dipikiranku, lalu kubuka Alqur'an secara acak, aku membaca mengikuti ke mana mataku pertama memandang, dan betapa takjubnya aku, ayat yang pertama kubaca, kurasa jelas menjawab tanyaku, dan hal ini terus terjadi hingga kurasa semua tanyaku terjawab tuntas.
Air mataku berganti, dari mengalirkan kesedihan jadi mengalirkan rasa haru, syukur, takjub. Ada kehangatan yang mengalir di hatiku, aku merasa ternyata Allah sedemikian dekat denganku, hingga Dia bisa menjawab tanyaku, dan dalam sekejap semua rasa sesak, marah, kecewa, takut, hilang begitu saja, hatiku terasa ringan, tak ada lagi takut yang bergelayut, yang ada hanya perasaan tenang dan damai, air mataku pun terhenti, dan aku bisa tersenyum lagi. 

Aku benar-benar merasakan betapa Allah bisa membolak-balik hatiku, semudah dan secepat itu, betapa Dia begitu luar biasa. Ternyata memaafkan, menerima dan percaya kembali bisa begitu mudah, hanya semudah menjentikkan jari, Dia menolongku dan aku membuka diri untuk menerima pertolongan-Nya.

Badai besar itu berlalu, hubungan pernikahanku justru menjadi jauh lebih baik, bahkan mungkin paling baik dibandingkan sepanjang aku menjalin hubungan dengan lelakiku, kami sama-sama sepakat untuk memperbaiki hubungan kami, memperbaiki diri dan akhlak kami, bukan demi dia, tapi demi diriku sendiri, demi memantaskan diri untuk menerima cinta Allah, karena aku merasa Allah mau aku melakukannya.
Dan aku mulai mencoba membaca Alqur'an, meski hanya terjemahannya, bukankan Allah tidak menyulitkan jika aku mau belajar?

Ternyata benar, bahwa hati akan tenang, hanya dengan mengingat Allah.
Ternyata benar, bahwa memaafkan akan terasa sangat indah dan mendatangkan kebaikan.
Ternyata benar, bahwa Allah maha membolak-balik hati manusia.
Ternyata benar, bahwa harus mencintai Allah lebih dulu dibandingkan manusia.
Ternyata benar, niatkan segalanya lillahi ta'ala akan membuat segalanya terasa lebih ringan.
Ternyata benar, bahwa Allah adalah sebaik-baiknya penolong.
Ternyata benar, bahwa bergantung pada Allah, membuat hati terasa tenang dan damai.
Ternyata benar.....
Allah tak pernah ingkar janji.
Alqur'an adalah petunjuk bagi orang yang mau berpikir.
Islam adalah rahmat bagi semesta, ajarannya begitu damai, mengajarkan manusia untuk bersabar, menahan nafsu, berbuat baik, menebar manfaat, rendah hati, selalu bersyukur, selalu berserah. Tunjukkan saja dengan sikap nyata, karena sikap nyata berbicara lebih banyak daripada ucapan.

Allah bisa menjadikan semua manusia patuh dan tunduk, tapi Dia tak mau memaksa, Dia hanya memberikan sebuah panduan, manusia boleh melaksanakan, boleh tidak, semua ada konsekuensinya, dan akan dipertanggungjawabkan.


AKHIRNYA BERHIJAB

Sejak kejadian itu, aku mulai ingat dengan keinginan lamaku, keinginan untuk berhijab, namun tak langsung aku lakukan, aku kembali diam, berpikir, beberapa kali aku berdiskusi dengan lelakiku.

Kebetulan Kasih sekolah di SDIT, yang mewajibkan berhijab saat datang ke  sekolah, dan aku merasa semakin nyaman saat berhijab.

"Aku mau pakai jilbab, tapi bingung harus mulai dari mana? Menurut kamu gimana?
"Kalau kamu mau pakai, pakai saja, tapi jangan karena aku. Yang lebih penting, perbaiki akhlak, jilbab bukan cuma soal kain penutup."
"Aku mau pakai, bukan karena kamu, aku hanya mau mencoba menjadi lebih baik, aku mau jilbabku menjadi penahan dan pengingat bagiku untuk berbuat lebih baik."
"Pakai saja."

Akhirnya aku memantabkan diri untuk berhijab, 5 Oktober 2017, bukan karena menjalankan sebuah kewajiban, bukan karena takut neraka, bukan karena tak ingin menyeret suami dan ayahku ke neraka, bukan karena itu semua.
Hanya karena aku mau, aku berharap hijabku akan menahan diriku dari perbuatan buruk, aku berharap hijabku bisa jadi pengingat untuk jadi manusia yang lebih baik dan pantas menerima cinta Tuhanku.

Hijabku hanya bagian kecil, secuil dari perjalananku sebagai manusia yang ingin terus berproses jadi lebih baik, bukan sebuah hal besar yang patut dirayakan dengan ucapan selamat, bukan sebuah hal besar yang patut dikagumi, seperti yang selama ini terjadi.
Hijabku hanya kulit luarku, jangan kau lihat hijabku, lihatlah aku sebagai manusia, kau boleh berbahagia jika kau lihat akhlakku jadi lebih baik, kau boleh senang jika kau lihat aku bisa memperlakukan sesama makhluk ciptaan Allah dengan lebih baik.


HIJRAH?

Dulu, aku pernah melakukan beberapa hal yang dilarang dalam Islam, aku pernah minum minuman beralkohol, aku pernah mencicipi daging haram, aku pernah mabok, aku tak melaksanakan sholat, tidak menunaikan zakat, aku pernah ikut kegiatan ibadah agama lain, dll.
Kini aku sedikit lebih baik.

Aku bersyukur, pernah menjadi aku yang dulu.
Aku yang dulu sempat Islamphobia.
Aku yang dulu sempat melakukan hal-hal buruk.
Aku juga mensyukuri setiap tantangan yang telah kulalui.
Karena semua itu yang telah menjadikan ku sebagai aku kini.
Sungguh, tiada kejadian yang tanpa makna, segala yang buruk maupun baik, semua bertujuan baik untuk kita, maka berbaik sangka lah kepada Allah dan takdir-Nya.
Sungguh, setiap manusia memiliki kesempatan bertobat karena Allah maha pengampun, maka jangan terlalu cepat menilai orang, karena mereka yang kau anggap buruk, bisa saja ternyata lebih baik darimu, dan sebaliknya.
Sungguh, Allah memilih orang yang Dia beri petunjuk, semau Dia, dan sebaliknya, Dia menyesatkan orang yang  Dia kehendaki, dan ketika seseorang dijadikan-Nya 'tuli' dan 'buta', mereka akan merasa nikmat dalam keburukan, maka tetaplah rendah hati, tak perlu merasa paling benar, paling tahu.

Jika kau tanya, bagaimana prosesku berhijrah, maka ini hanya sebagian kecil perjalanan hijrahku, karena hijrah bagiku adalah proses hidup yang membawaku terus jadi manusia yang lebih baik.
Jika kau tanya, apa yang membuatku hijrah, maka jawabannya sangat jelas, yaitu : Allah.

2 komentar:

  1. Pengalamanku memiliki dua anak yg memiliki kelainan microcepalus keduanya tuhan ambil diusia 12hari dan 3bln sampai sekarang aku masih trauma yg berlebihan cemas kalau ingat kejadian itu aku trauma

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo mba, maaf baru reply 😅

      Yang sabar yah mba. Jika memang trauma dan cemas itu sangat mengganggu dan tidak bisa berkurang dengan ngobrol dan motivasi, mba mungkin bisa cari bantuan profesional dengan psikolog atau psikiater untuk terapi mengatasi rasa cemas dan traumanya.

      Maaf, apakah pernah konsultasi ke dokter mengenai kemungkinan penyebab mikrosefalinya?
      Maksudku, jika diketahui sebabnya, mungkin bisa diterapi dulu sebelum promil.

      Hapus