Tampilkan postingan dengan label ibu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ibu. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 April 2018

MY PARENTING STYLE


Ada yang nanya,"Gimana caranya bisa survive dengan 2 anak, yang 1 adalah ABK, dan kondisi jauh dari suami?"

OK, akan coba kujawab di sini yaah.

Sebagai pembuka, kuberi tahu sedikit rahasia, aku tuh orangnya galak, keras, gak sabaran, jadi kalau ada yang bilang emak sabar, baik hati seperti ibu peri, itu salah banget.


HEY, MBA KASIH AKAN JADI KAKAK!

Mba Kasih justru adalah orang pertama yang bilang,"Di perut mama ada dede bayinya."
Bahkan sebelum aku mencoba menggunakan tespek.
Jadi sejak hamil, aku sudah coba kenalkan si adik ke kakak, gimana caranya?
Aku ajak kakak ngobrol, tunjukkan video animasi proses perkembangan janin dalam kandungan, ajak kakak merasakan pergerakan janin, ikut pas kontrol kehamilan, dll
Aku juga sering bilang,"Mba Kasih nanti kalau dede sudah lahir, jadi asisten kecil mama yah, pasti mba Kasih bisa jadi asisten kecil yang hebat."
Atau,"Dede seneng banget punya kakak kayak mba Kasih."
Atau sejenis itu lah, sekalian sounding bahwa saat mamanya akan melahirkan, mba Kasih akan dititipkan ke mbah, karena gak boleh ikut (juga konfirmasi ke dokter pas ada mba Kasih hehehehe), jadi pas beneran mau lahiran, mba Kasih sudah paham, no drama.

Ini membuat mba Kasih sadar bahwa dia akan jadi kakak, dan bahwa nanti mamanya akan butuh bantuan mba Kasih untuk ikut menjaga si adik.


ADIK YANG SPESIAL

Kirana lahir, tidak menangis dan  mengalami beberapa kelainan bawaan lahir.
Tidak yang menduga bahwa si adik akan terlahir begitu special, dan membutuhkan perawatan intensif di awal kehidupannya, jadi hal ini tidak pernah dipersiapkan, aku pun tidak ada bayangan gimana mengasuh 1 ABK dan 1 kakak saat jauh dari suami, tapi kami sih siap gak siap, harus siap, semua takdir harus diterima dengan penuh keberserahan dan rasa syukur, yee kaaaan?

Aku yang sudah mengetahui beberapa teori parenting, maklum saja, saat Kirana hadir, aku sudah 3 tahun bergelut dalam dunia edukasi para emak menyusui dengan membina Tambah ASI Tambah Cinta, jadi yah berbagai info soal parenting sudah kuketahui, sebagian aku setuju, sebagian lainnya tak setuju.

Saat hanya mengasuh Kasih, rasanya cukup ideal praktek ilmu parenting ku, meski sedikit meleset, tapi rasanya tak terlalu jauh dari harapan.
Tapi saat Kirana yang hadir, banyak teori tersebut buyar, terhempas berbagai problematika, mungkin memang kondisi keluarga kami jauh dari kata ideal, but i must coping with it.
Teori parenting yang manis dan ideal? Ah sudah lupa tuh.

Sebodo amat kalau ada yang mau bilang emake saja yang gak cerdas, karena gak bisa menerapkan suatu teori parenting yang katanya ideal, emang emak mah gitu, kurang cerdas hihihihi.


KENYATAAN TAK SEINDAH HARAPAN

Katanya memberikan hukuman fisik tuh gak bagus, katanya membentak anak itu gak bagus, katanya ayah dan ibu harus hadir lengkap untuk anak-anak, katanya ibu gak boleh stress, katanya ibu harus bahagia, katanya katanya katanya.......
Demikian menurut teori parenting yang ku tahu dan aku juga setuju koq, tapi apa daya, kenyataan tak seindah teori.

Kirana yang spesial, kondisinya sangat rumit dan kompleks, aku belum pernah tahu kondisi seperti Kirana sebelumnya, itu adalah hal baru bagiku, tapi aku harus belajar dengan cepat, harus terus berlari meski ingin berhenti.
Ditambah kelelahan memberikan ASI yang juga tak bisa kulakukan dengan cara normal, aku terpaksa melakukan EPing, karena aku tak bisa menyusui Kirana, dia tidak bisa melakukan latch on dengan baik, mungkin karena glossoptosis, lidahnya tak sampai menjangkau untuk melakukan pelekatan.
Aku merasa sangat membutuhkan sokongan, dan hanya dukungan suami lah yang sebenarnya sangat kuharapkan, tapi sayangnya saat itu memang hubungan kami pun sedang tak sehat, dan memang kondisi memaksa kami harus terpisah jarak, Kirana butuh banyak biaya, dan kami harus merangkak tertatih untuk itu, suamikulah yang menggadaikan waktunya demi memenuhi kebutuhan kami.

Lengkap sudah!


BAD PARENTING

Kamu pernah memukul, mencubit atau menjewer si kecil? Aku juga pernah.
Kamu pernah membentak si kecil? Aku juga pernah.
Kamu masih LDR, jauh dari suami?
Aku juga.
Kamu mengerjakan nyaris semuanya sendiri? Aku juga.
Kamu seperti tak punya waktu untuk diri sendiri? Aku juga pernah.
Kamu merindukan me time impian seperti ujaran di luar sana, bahwa ibu harus bahagia? Aku juga pernah.
Kamu merasa sebagai ibu yang jahat, gagal, gak becus, payah, dll dll? Aku pun pernah.
Kamu merasa mati adalah jalan keluar terbaik? Aku pun pernah.
Kamu merasa putus asa dengan pernikahanmu? Suami serasa tak peka, tak peduli, tak ada, dan kamu lelah dengan semua itu? Muak? Aku pun pernah.
Kamu mengutuki dirimu sendiri karena tahu telah melanggar teori parenting yang kamu percaya baik? Aku juga pernah koq.
Aku pernah, aku pernah, aku pernah, aku pernah, aku pun sama denganmu, pernah melalui itu semua.

Aku pernah memegang sebilah pisau, menempelkannya di pergelangan tanganku, siap menyayat nadiku sendiri.
Aku pernah bersiap untuk pergi dari rumah, tak tahu mau ke mana, pokoknya aku ingin menghukum dunia, kupikir mungkin dunia baru akan sadar arti keberadaanku setelah aku menghilang.
Aku mengutuki diriku sendiri, aku merasa sangat bersalah setiap kali aku tahu aku melanggar aturan parenting yang kuyakini baik, semakin lama, rasanya aku semakin terpuruk, tak mampu menjadi ibu yang baik.

Iya, aku pernah di masa itu.
Aku jelas bukan malaikat, atau sekedar ibu peri, aku hanya seorang ibu biasa, manusia biasa, yah jadi begitulah, nafsu memang musuh besar manusia, demikian juga denganku.

Depresi?
Gak tahu, toh aku tak pernah mencari tahu, mungkin aku tak cukup pintar dan tak cukup kuat untuk mencari bantuan kepada seorang ahli, seperti psikolog atau psikiater.


I WILL SURVIVE

Di tengah segala himpitan problematika yang aku alami, di antara semua rasa negatif yang mengusai diri, aku masih berusaha untuk bangkit, alhamdulillah Allah masih terus membantuku, menyelamatkan aku, dan memberikan petunjuk.
Meski aku tahu, aku telah banyak melakukan kesalahan kepada mba Kasih, aku telah merusak, menyakiti, menghancurkan jiwa murninya, aku tetap mencoba menumbuhkan konsep diri positif kepada mba Kasih, entah apakah itu berhasil atau tidak.

Dengan kondisi Kirana yang membutuhkan segalanya ekstra lebih banyak, otomatis perhatianku juga tertumpu pada Kirana dan segala aktifitas terkait Kirana, aku nyaris tak punya waktu untuk Kasih, apalagi untuk diriku sendiri, apalagi saat itu aku juga tidak memiliki ART, saat beberapa waktu ada ART pun, hanya untuk membantu beberes rumah, tidak lebih.

Maka aku mengupayakan menumbuhkan rasa tetap dibutuhkan dan spesial pada mba Kasih dengan cara :

  • Melibatkan mba Kasih dalam pengasuhan Kirana. Sesuai kesepakatan awal, mba Kasih jadi asisten kecil mama. Mba Kasih sering memilihkan baju untuk Kirana, sesekali membantu menyuapi ASIP untuk Kirana, ikut menemani Kirana ke dokter, terapi, dll.
  • Mewujudkan dengan perkataan. Ada kalanya aku akan mengurus Kasih, misal untuk memasak dan menemani dia makan, sejenak, aku akan katakan,"Sebentar yah dek, mama masak dulu untuk mba Kasih, gantian yah, kan dari tadi sudah sama dedek, sekarang mama nemenin mba Kasih dulu." Dan sebaliknya, saat aku akan mengurus Kirana, aku ijin ke mba Kasih,"Mba Kasih, gantian yah, mama nemenin dedek dulu, gantian." Atau misal mba Kasih masakin makanan buat Kirana, akan kukatakan,"Wah, makanannya enak, dedek suka banget deh, mba Kasih yang masak, makanya dedek suka." Atau ucapan-ucapan sejenis itu.
  • Pergi bertiga atau berempat (kalau pas bapake pulang), untuk mba Kasih. Misal setelah kunjungan ke RS, kami pergi ke mall, sekedar jalan-jalan, atau makan, atau main, mengikuti permintaan mba Kasih, membuat dia senang.
  • Berusaha tetap menjelaskan kondisi Kirana kepada mba Kasih, secara jujur dan ilmiah. Dengan mba Kasih ikit melihat Kirana diperiksa, disuntik, diterapi, dll dll, mba Kasih turut belajar tentang kondisi Kirana. Aku sering bilang,"Karena mba Kasih kakak hebat dan spesial, makanya punya dedek yang spesial seperti Kirana. Mba Kasih sama dedek, saling jaga, saling bantu yah."
Kurang lebih beberapa hal tersebut yang sering kulakukan, aku pun tak tahu, apakah itu bisa mengobati luka di hatinya atau tidak, apakah itu bisa membangun konsep diri positif atau tidak.

Aku sendiri, berusaha bangkit, dengan caraku sendiri, aku memang tak mencari bantuan ahli, aku hanya memaksa diriku sendiri untuk menerima keadaan, berdamai dengan kondisi, memaafkan diri sendiri.
Aku mulai menurunkan standart harapanku, aku tak lagi mengharapkan dukungan dari siapa pun, maka ketika datanh dukungan yang kuharapkan aku akan bersyukur, jika tidak, aku tak akan kecewa mendalam. Aku juga memperlambat langkahku, awalnya aku ingin berlari kencang, aku mau semua kondisi Kirana terurai segera, secepatnya, maka aku mengurangi kecepatanku, aku mulai menyusun kembali rencana tentang Kirana, mengatur ritme yang lebih lambat dan realistis.

Dan hal yang tak pernah hilang adalah, aku meyakini bahwa Tuhan tidak meninggalkan ku sendiri, Dia tak akan salah dalam berencana dan aku pasti bisa melalui tantanganku, karena Dia tak akan salah memilihku untuk menerima tantangan itu.

Sungguh tak mudah, aku harus melawan egoku sendiri, melawang diriku sendiri dan menundukkan nafsuku sendiri, tapi perlahan aku merasa lebih baik, meski hubungan dengan suamiku masih tak sehat, setidaknya aku mulai bisa menguasai diriku sendiri.

Ada suatu masa, di mana Kasih menjadi sosok yang sangat sulit, dia sering berbohong, sulit diatur dan selalu seperti memancing emosiku, dia bahkan sempat dikatakan mengalami gangguan motorik kasar dan sensori oleh seorang dokter rehab medik, entahlah, Kasih memang sedikit berbeda, tapi kami belum mencari tahu lebih lanjut tentang ini.
Ya, itu adalah masa di mana emosiku tumpah ruah, jiwaku tak sehat, aku merasa hampir gila, dan demikian juga Kasih menjadi anak yang sulit untukku.

Tapi percaya atau tidak, ketika kondisiku mulai membaik, Kasih perlahan juga mulai menunjukkan perubahan.
Perubahan yang paling mencolok adalah setelah aku benar-benar merasa jauh lebih baik, lebih tenang, lebih berserah, meski memang tetap hingga kini aku mungkin belum 100% pulih, tapi ketika aku melalui sebuah kondisi yang sangat berat, kondisi yang benar-benar membalik hatiku, membuatku lebih sadar diri untuk berserah, dan hubungan pernikahanku menjadi jauh lebih baik, Kasih menunjukkan perubahan yang signifikan.

Sementara pola pengasuhanku kepada Kirana, kurang lebih sama saja, meski dia spesial, tapi aku tak menghadirkan banyak kemudahan baginya, aku memang berusaha mentolerir hal-hal yang belum bisa Kirana lakukan, tapi prinsip dasar pola pengasuhannya, kurang lebih sama, aku memilih untuk membiarkan Kirana mencoba dan berusaha, jika dia belum bisa, perlahan kulatih sesuai dengan kemampuanku juga, karena aku pun memiliki keterbatasan fisik dan gerak karena tubuhku juga bukan tubuh yang sehat. Tapi sebisa mungkin, aku tidak memberikan toleransi berlebih pada Kirana. Misal untuk hal kemampuan makannya, aku memilih melatihnya terus meski dia mudah tersedak, dia mengalami feeding difficulty, dia tetap makan dengan mulutnya, belajar dan beradaptasi. Demikian juga urusan kesehatannya, tak ada yang berbeda kulakukan dibanding dengan pengasuhan terhadap Kasih, aku tetap mengacu kepada pengobatan yang berbasis bukti (evidence based), dengan mempertimbangkan resiko, manfaat, serta biaya.

Sementara untuk hal lainnya, aku kerjakan di sela-sela mengurus anak-anak, secara umum, mengurusi rumah adalah hal yang paling sering kuabaikan, jadi jangan heran jika rumahku seperti bekas perang bintang hehehehe. Tapi kegiatan seperti mencuci, dipermudah dengan adanya mesin cuci, aku bisa mencuci sambil memasak, memandikan Kirana, dll. Dulu sempat beberapa saat ada ART yang membantuku beberes, tapi tak lama. Kini sesekali mertuaku mampir ke rumah untuk membantuku merapikan rumah. Setrika baju, hanya kulakukan untuk baju tertentu, seperti seragam sekolah mba Kasih, lainnya sih biarin aja hihihihi. Memasak tentu saja aku lakukan dengan secepat mungkin, masak menu sederhana, sekaligus untuk anak-anak dan juga aku. Kadang mba Kasih yang masak, atau paling sederhana aku masak dengan cara mengkukus, sehingga bisa matang sekaligus, dan bisa disambi aktifitas lain, bisa tetap berbumbu sederhana koq, dan relatif lebih sehat hehehehe.

Aku percaya setiap manusia dibekali naluri untuk survive menghadapi tantangan hidup seberat apapun, Tuhan tahu kemampuan kita, Dia tidak akan menguji melebihi batas kesanggupan kita, dan Dia lebih tahu apa yang terbaik untuk kita.
Demikian juga dengan aku, i will survive.

Meski aku tak melakukan tehnik parenting yang baik, bahkan mungkin aku telah melakukan banyak hal buruk dalam pengasuhan anak, dan mungkin aku layak disebut toxic parent, tapi ya sudahlah, tak mengapa, hal yang sudah terjadi tak akan bisa diulang atau dibatalkan, hal yang sudah terjadi harus menjadi pelajaran berharga, yang terpenting adalah saat ini dan esok, aku harus mau berusaha jadi lebih baik.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah terus memaafkan diri sendiri, maafkan kondisi yang ada, maafkan masa lalu.

Percayalah, Allah maha pengampun, dan takdir-Nya selalu sempurna.
Tak peduli seberapa buruk pola pengasuhan yang pernah kulakukan, aku tetap ibu, dan selalu punya kesempatan untuk memperbaiki diri.

Demikianlah pola asuh yang akhirnya kami terapkan, setiap orangtua harus meramu sendiri pola terbaik yang bisa diterapkan sesuai dengan karakter dan gaya masing-masing, tak perlu kaku terpaku pada suatu teori tertentu, kita harus meramu sendiri cara kita, teori yang ada tidak bisa serta merta disamaratakan bisa baik untuk semua kondisi, karena si pembuat teori, aku dan kamu berbeda. Yang penting, antara ayah dan ibu sepakat dan menjaga komitmen, konsisten dalam menerapkan pola asuh yang ditentukan.
Dan ingatlah untuk selalu menyertakan Allah, karena hanya Dia sebaik-baiknya pelindung dan penolong kita semua.

Jadi, kalau ditanya,"Bagaimana bisa survive selama ini dengan semua kondisi yang ada?"
Jawaban tersingkat adalah : karena ada Allah yang menolongku dalam segala hal.
Ketika kau lihat ada hal besar yang rasanya sulit dilakukan manusia, eh tapi koq bisa, percayalah, itu adalah karena Tuhan benar ada dan membantu manusia.

Senin, 24 April 2017

Aku, Depresi dan Kasih

Kasih Aulia Putri Wibowo.

Dia adalah putri yang pertama menjadikanku seorang ibu.
Dia adalah pelajaran pertama bagiku, meski aku tak tahu harus memulai dari mana, karena menjadi ibu tak ada manual book-nya.
Dia yang menerima saya apa adanya.

Kasih itu lemah lembut, dan tulus namun sangat kuat, demikian juga Kasih putriku.

Dia yang di usia ke 4 dengan semangat menantikan kehadiran adiknya, namun sayang, sang adik tak dapat segera ditemuinya, adiknya harus terlelap di buaian ruang NICU bersama pejuang kecil lainnya.
Masih terbayang wajah kecewanya saat dia dilarang masuk ke ruang itu, padahal awalnya dia sudah begitu senang akan bertemu adiknya.
Ya, dia sangat kecewa dan ternyata menangis (aku baru tahu saat dia berusia 6 tahun dan kami melewati ruangan itu lagi, Kasih cerita,"Aku waktu itu nangis di situ, karena gak boleh ketemu dedek.").


Ketika adiknya pulang di usianya sebulan, Kasih pertama kali melihatnya, dia sangat​ senang tapi malu-malu, Kasih sedang batpil sehingga harus pakai masker, dia ingin sekali mencium adiknya, saya pun mengijinkan, sebentar saja, dan kemudian dia kembali harus berpisah dengan Kirana karena masih batpil, dia ikut ke rumah mbah lagi, menunggu sehat.

Ketika akhirnya Kasih berada di rumah, Kasih seringkali ingin ikut terlibat, dia minta menyuapi Kirana, aku pun mengijinkannya, dia sesekali ikut menyuapi Kirana pakai pipet.
Kasih juga ingin mencoba memangku Kirana, aku pun mengijinkannya, pelan-pelan, dan dia sangat senang.
Kasih suka minta memilihkan baju untuk Kirana, dan aku juga mengijinkan, dia akan kesal kalau baju pilihannya kukatakan kurang pas hehehehehehe.
Aku seringkali menyampaikan dengan kata-kata seperti,"Sebentar yah Kirana, mama mau masak buat mba Kasih dulu.", atau,"Sebentar yah Kirana, mama mau nemenin mba Kasih dulu.", atau hal lain serupa itu, dengan harapan agar Kasih tetap merasakan bahwa ada kalanya dia didahulukan, dan dia tetap istimewa.

Namun, di masa itu, aku sendiri masih dalam kondisi yang kurang baik, bukan karena terpuruk atas kondisi Kirana, namun karena kelelahan yang luar biasa dan kekecewaan atas sikap bapake.
Ya, di masa itu aku seringkali lepas kendali, rasa lelah yang luar biasa, ditambah kecewa, marah, bingung, takut, semua bercampur jadi 1, dan membuat emosiku tak terkendali.
Entah apakah aku terkena postpartum depression atau tidak, karena toh aku tak pernah ke psikolog atau psikiater untuk konsultasi dan mengetahui kondisi ini, aku masih ingat bagaimana reaksi suamiku ketika aku sampaikan perasaan dan kekhawatiranku akan bayang-bayang depresi.
"Kamu jangan cari pembenaran diri.", itu yang dia ucapkan, meski maksudnya adalah agar aku tidak terlalu khawatir, namun kata-kata itu terasa sangat menyakitkan dan mengecewakanku.
Ya dia yang tak hadir dalam hidupku di saat hidup terasa begitu berat bagiku, lalu berucap seperti itu.
Waktu itu, berulang kali aku merasa ingin pergi dari rumah, lari dari semua kondisi yang ada, bahkan aku juga berpikir untuk berpisah saja dari suami, kupikir percuma saja punya suami tapi jarang hadir, rasanya seperti janda bersuami.

Baca juga : Ketika Depresi Menghampiriku

Tahu siapa​ yang paling merasakan akibat dari kegilaanku?
ANAK.
Tentu saja anak-anak yang paling terkena imbas langsung.
Kirana masih bayi, dia begitu mungil, dan tampak ringkih, aku tak sampai hati meluapkan kegilaanku​ padanya.
Lalu siapa??
Kasih!
Ya, dialah anak yang pertama merasakan imbas dari segala kegilaanku, aku yang lepas kendali, meluap kepadanya, padahal dia tak bersalah.
Dia yang sedang berusaha mencari perhatian dariku yang terlalu sibuk berkutat dengan semua urusan Kirana, dan juga urusan pokok Kasih, hingga melupakan perhatian bagi Kasih.
Meski aku berusaha untuk tetap memberinya perhatian, meski aku berusaha membuatnya tetap merasa tak terabaikan, tetap merasa disayangi, tapi apa artinya dibandingkan pengabaian yang ada?
Kasih jadi tampak begitu menyebalkan karena aksinya yang selalu menentangku, tepat di saat rasa lelah, marah, kecewa, takut, dll bercampur jadi satu.

Ya, Kasih yang telah menerima seluruh kegilaanku.
Harus kuakui, aku semakin kecewa ketika dia bertanya,"Kapan papa pulang?", atau,"Kenapa papa gak pulang-pulang sih? Si A papanya juga kerja, tapi pulang.", atau sejenis itu, betapa kecewanya aku, karena sesungguhnya aku pun ingin keluarga yang utuh, ayah-ibu-anak, utuh dan sempurna, namun hal tersebut terasa begitu jauh dari angan.
Aku sering mengalihkan semua rasa negatif ku dengan melayani keluhan orang lain (aku punya beberapa support group), sehingga ketika mereka merasa terbantu, demikian juga dengan aku, namun efeknya pasti juga semakin menyita waktuku.

Aku pasti telah menyakiti Kasih, seringkali, masa itu aku memang merasa hampir gila (atau mungkin memang sudah gila? Entahlah), maafkan mama, Kasih.

Ya, hubungan ibu dan anak memang tak selalu berjalan mulus, apalagi dengan hadirnya anak istimewa yang kasusnya juga rumit, membuat aku harus banyak mencurahkan waktu dan pikiran untuknya, dan hubunganku dengan Kasih mungkin sudah hancur sejak dulu, akulah yang menghancurkannya, bahkan mungkin aku juga merusak hubungan Kasih dengan Kirana.

"Oh, ibu macam apa kamu ini?", mungkin orang akan berpikir seperti ini jika tahu apa yang terjadi kala itu, yah mungkin aku akan dinilai sebagai ibu yang kejam, sadis, gak sayang anak, dll.
Tapi apakah demikian?
Entahlah.

Aku sudah cukup tersiksa dengan apa yang kulakukan, aku yang tahu berbagai teori parenting, membuat aku lebih menyadari seluruh kesalahan yang aku lakukan, dan tak bisa mengendalikan diri, meski rasanya sangat ingin memperbaiki keadaan, itu sangat menyiksa, membuat rasa bersalah berkali lipat.

Lalu bagaimana dengan Kasih?
Dia jadi semakin annoying, dia sering menentang, dan ini sering membuatku semakin marah.
Aku? Aku merasa semakin bodoh.

Kini semua terasa membaik, perlahan aku keluar dari kegilaanku sendiri, tak mudah, sangat tak mudah, karena aku harus melawan diri sendiri, menekan ego.
Namun semua yang terjadi tak bisa dihapus, aku harus membayar apa yang kulakukan, dan ini pasti tak mudah.

Beberapa waktu lalu aku ikut talkshow dengan materi parenting yang sangat bagus, rasanya ingin menangis, karena aku tahu bahwa aku telah banyak melakukan kesalahan yang diungkapkan dalam materi tersebut, aku seperti ditambar, dikeplak, dijewer, diapain aja deh pokoke, yang jelas aku seperti semakin tersadar, bahwa aku harus memperbaiki hubungan dengan Kasih.


Untunglah Kasih adalah kakak yang istimewa, ketika kutanya,"Mama gimana Kasih?", Kasih menjawab,"Mama baik." (terpaksa kali yaah hahahahaha), tapi setidaknya aku rasa aku masih bisa memperbaiki keadaan.

Tahu gak?
Sekedar main lampu malam-malam sebelum tidur, itu sudah sangat membuat Kasih senang.
Sejak kondisiku membaik, emosiku lebih terkendali, rasanya Kasih juga lebih terkendali, yaah meski tetap ada ngeyelnya, banyak malah, tapi tidak seburuk dulu.
Daaan pesan bu dokter,"Anak semakin ngeyel itu semakin pintar dia.", pesan ini  menyadarkanku, bahwa Kasih demikian karena dia pintar.
Aku tahu bahwa Kasih pasti tetap menyayangi Kirana dan juga aku, tapi hubungan kami harus diperbaiki, meski mungkin tak mudah, tapi masih bisa kan?

Aku pun masih percaya bahwa Kasih adalah anak yang baik, aku lah yang harus jadi ibu yang lebih baik untuknya.

Kasih, maafkan mama selama ini sudah banyak salah, maafkan mama, nak.


-----------------------

O iya mengenai talkshow yang kusebut itu, aku share sedikit review yaaah.

Poin-poin penting yang masih nyantol di memory nih :
1. Bangun komunikasi efektif dengan anak. Kadang kita ngobrol dengan anak tapi gak nyambung, tidak ada keterikatan emosi.
2. Sediakan waktu sepenuh hati untuk komunikasi dengan anak, singkirkan semua hal yang mengganggu (seperti gadget, komputer, dll).
3. Berempati lah pada anak.
4. Ayah dan ibu HARUS hadir semuanya (bukan cuma ibu, dan ini kurang banget di saiyah huhuhuhu)
5. Hati-hati sekali dengan verbal bullying (misal : "ya udah, kalau gak mau dengerin mama, kamu tinggal saja sama papamu, mama pergi!", atau yang lebih parah juga,"kalau kamu gak mau melakukan itu, kamu bukan anak mama!", atau lainnya), ini sangat bahaya karena sangat menyakitkan bagi anak.
6. Ada tehnik pernafasan yang bisa coba dilakukan jika kita sedang emosi : 627 artinya tarik nafas pelan-pelan selama sekitar 6 detik, lalu tahan sekitar 2 detik, kemudian hembuskan perlahan sekitar 7 detik. Ini biasa dipakai untuk tehnik relaksasi.
7. Ketika kita sedang sangat marah, kesal, sebaiknya lakukan time out, pergi ke ruangan lain, tenangkan diri.

Lalu saya juga sempat bertanya, tentu saja pakai acuan kondisi saya sendiri sih, yang punya anak 2, dan salah 1 adalah ABK, sering menghabiskan waktu ke RS, ayah jarang sekali hadir.

Jawabannya kurang lebih :
Bangun self esteem si sibling, sehingga meski kita banyak menghabiskan waktu dengan ABK kita, si sibling tetap percaya diri, tahu bahwa dia tetap disayangi.
Lalu juga libatkan si sibling dlm pengasuhan ABK kita, kita bisa sampaikan kondisi sibling-nya yang ABK, membutuhkan semua tindakan dan kunjungan medis yabg dilakukan, dan ini perlu dilakukan terus-menerus

Tips untuk mama Toyib (seperti saiyah) atau yang di rumah sendiri saja, mengerjakan semuanya :
Abaikan rumah berantakan, yang penting bisa luangkan waktu untuk anak-anak.
Atau libatkan anak untuk kegiatan seperti mencuci, menyapu, mengepel, masak, dll.
(Tapi ini yang nyebelin kalau papa Toyib ngedumel akibat rumah berantakan)
----------------------

Buat para ayah yang baca tulisan ini, please perhatikan istrimu, jangan biarkan dia bersusah payah sendiri, jangan kau anggap keluhannya sebagai sikap berlebih atau melebih-lebihkan. Rumah yang nyaman, anak-anak yang bahagia, harus dimulai dari ibu yang bahagia, untuk membuat ibu bahagia, diperlukan suami (ayah) yang bisa menjaga kesejahteraan ibu (jasmani dan mental), jangan abaikan keluhannya, hadirlah juga untuk si ibu.

Buat para ibu yang merasa mengalami hal serupa, aku ingin bilang,"Tenang bu, kamu gak sendiri.", kalau memang merasa hal serupa, ada baiknya bercerita pada suami, atau cari teman terpercaya untuk bercerita, jika perlu, kunjungi psikolog atau psikiater, cari bantuan, karena anak-anak membutuhkan ibu yang sehat jasmani dan mental.
Kau sangat berharga bu.





Rabu, 07 Desember 2016

KETIKA DEPRESI MENGHAMPIRIKU



Tak pernah terbayangkan bahwa aku akan menjadi seorang ibu dari seorang anak berkebutuhan khusus (ABK), dengan kelainan langka yang rumit, bahkan hingga kini, usianya 2 tahun 10 bulan, kami masih belum mengetahui diagnosa utama dari sindromnya sehingga masih banyak teka-teki kepingan puzzle yang harus kami temukan dan susun meski tanpa petunjuk yang jelas.

Memiliki anak dengan kelainan langka yang rumit tanpa tahu diagnosa utamanya, sungguh merupakan tantangan besar bagiku, menguji kekuatan mental, menantang kemampuanku terus belajar dan beradaptasi, membuatku harus mampu menundukkan ego, ketakutan, kegilaan dalam diriku sendiri.

Awal kelahiran Kirana, awal di mana aku baru mengenal apa itu Pierre Robin Sequence, awal di mana aku belum mampu membayangkan sebesar apa tantangan ini, awal di mana aku harus mulai beradaptasi dengan segala aktifitas yang menguras tenaga dan pikiran, awal dari kisah panjang istimewa, kala itu aku tak merasa melalui apa yang disebut fase denial, aku merasa baik-baik saja dengan diagnosa awal yang ku dengar, aku segera mencari informasi, tanpa sempat berlama-lama menangisi keadaan, aku bahkan tak menangis, aku merasa bahwa aku tak boleh terpuruk, bahwa aku harus kuat agar Kirana pun menjadi kuat, aku merasa bahwa segalanya harus berjalan baik dan cepat agar aku bisa segera mengetahui kondisi Kirana secara menyeluruh, semua pemeriksaan serta konsultasi harus segera dilakukan dengan cepat dan paralel agar aku bisa segera mengetahui bagaimana prognosis dari segala kondisi Kirana, dan tentu saja melakukan perbaikan, mungkin kala itu aku masih bisa dikatakan perfeksionis dalam hal terkait Kirana dan sikap suami.
Ya, aku mengharapkan sosok suami hadir mendampingiku, menjadi tempatku bersandar demi recharge energi, mengusir lelah dan sedih, aku berharap sosok suami yang mau memahami tekanan mental dan fisik yang aku alami, aku berharap sosok suami yang IDEAL mendampingi istri di masa berat tersebut.

Kala itu, aku harus memilih cara EPing karena resiko besar jika Kirana menyusu langsung, jalan nafasnya bisa tertutup dan aku bisa saja kehilangan Kirana untuk selamanya. EPing membuatku harus selalu perah ASI setiap 2-3 jam sekali dengan durasi 30-60 menit setiap sesinya, ini dilakukan selama 24 jam, terus-menerus, tanpa kenal waktu istirahat apalagi libur, dan ini artinya aku hanya punya sisa waktu 2-2,5 jam di antara jeda sesi perah.
Selama Kirana berada di RS, aku bisa menggunakan jeda waktu di antara sesi perah tersebut untuk istirahat, mengurus hal lain termasuk mengurus Kasih, namun ketika Kirana pulang ke rumah, di usianya 1 bulan, maka aku juga harus membagi waktu untuk menyuapi dia ASIP.
Kirana minum ASIP setiap 3 jam sekali, selama 24 jam, atau 8 kali dalam sehari, dan rupanya menyuapi Kirana adalah sebuah tantangan yang tak mudah, sesi minumnya menghabiskan waktu rata-rata 1-2 jam. Bisa dihitung, bahwa jadwal perah dan jadwal minum per 3 jam, jika perah menghabiskan waktu 1 jam dan menyuapi bisa menghabiskan waktu hingga 2 jam, makan habislah sudah seluruh waktuku selama 24 jam, tak tersisa untuk istirahat, atau sekedar meluruskan kaki, padahal aku juga harus mengurus Kasih.
Di sinilah titik di mana aku semakin frustasi, ditambah dengan sajian kondisi Kirana yang tidak begitu menyenangkan, di mana aku harus terus menyaksikan dia yang tampak sulit bernafas, tampak sesak, nafasnya berbunyi kencang (stridor), batuknya yang tampak buruk meski hanya tersedak liurnya sendiri, pertambahan berat yang termasuk lambat, perasaan bahwa ada yang tak beres dengan perkembangan, fungsi pendengaran dan penglihatannya, dst dst.
Dari waktu ke waktu, aku semakin banyak menemui dokter, semakin bertambah pula diagnosa baru atas diri Kirana, yang sebagian besar aku terima seorang diri, tanpa ada teman untuk bercerita lepas dan sekedar menangis dipelukannya.
Apalagi rupanya harapanku tentang sosok suami yang akan hadir mendampingiku, harapanku bisa bergerak cepat untuk memeriksakan Kirana, semuanya tak terwujud semulus rencanaku, lengkap sudah keruwetan hidupku saat itu, semuanya jauh dari ekspektasiku.
Aku pun merasa kecewa, marah, lelah luar biasa, hingga aku merasa mungkin aku sudah gila.
Aku ingin pergi dari rumah, emosiku tak karuan, aku ingin mengakhiri pernikahanku bahkan hidupku.

Ya, semua keinginan tersebut sempat singgah di benakku.
Aku sakit, bukan hanya sakit secara fisik, tapi juga sakit jiwaku.
Ketika aku sampaikan perasaan dan kekhawatiranku terhadap post partum depression (PPD), suamiku justru berkata,"Sudahlah, kamu jangan mencari pembenaran diri.".
Betapa aku merasa semakin kecewa, marah kepada dia yang aku harap mengisi ruang kosong di hatiku ketika semua terasa begitu buruk dan aku terpuruk, ternyata justru menamparku dengan kata-katanya.

Beberapa kali aku jatuh sakit, sendiri di rumah, dan harus tetap tegap berdiri melakukan semuanya, memikirkan segala kemungkinan yang ada pada diri Kirana, sementara suamiku begitu sibuk dengan urusan pekerjaannya, hingga dia jarang sekali pulang, dan komunikasi kami juga tidak lancar.

Beberapa orang telah berkata,"Lo yakin laki lo itu gak main gila?", di saat hampir bersamaan, muncul sms gelap mengaku seorang wanita yang sangat membutuhkan suamiku, memintaku menemuinya.

Aku tak tahu apakah aku memang mengalami PPD atau tidak, karena aku tidak pernah sekalipun menemui psikolog ataupun psikiater, tapi yang jelas aku tahu, bahwa aku merasa kewarasanku di ujung tanduk, aku telah menyakiti anak-anakku dengan emosiku yang meluap, ya aku pasti telah menorehkan banyak luka batin bagi mereka.

Kegilaanku bukan datang dari rasa denial.
Perfeksionis, kelelahan yang luar biasa, kekecewaan dan amarah yang memuncak, semuanya membakarku, mengikis kewarasanku, jika saja Tuhan tidak menyisakan sedikit kewarasan dan ketakutan dalam hatiku, mungkin saat ini aku tak lagi bisa menuliskan kisah ini.
Ya, bukan hanya sedikit kewarasan, Tuhan masih menganugerahi aku dengan sedikit ketakutan, hingga ketika muncul pikiran untuk pergi, mengakhiri pernikahan bahkan hidupku datang menghampiriku, aku masih takut, membayangkan bagaimana dengan anak-anakku nanti, bagaimana dengan Kirana yang kondisinya tak mudah dimengerti, bagaimana, bagaimana, bagaimana....
Sedikit rasa takut tersebut juga telah menyelamatkan jiwaku, menyelamatkan pernikahanku.
Aku pun mengalah, aku memutuskan untuk berhenti.
Berhenti mengharapkan sosok ideal seorang suami.
Berhenti memaksa diriku melakukan semuanya dengan cepat.
Berhenti mengharapkan segalanya sempurna sesuai rencana dan harapanku.
Aku pun mulai menurunkan standar harapanku, mulai belajar memaafkan diri sendiri, dan memaafkan suamiku.
"Hey. Aku hanya seorang manusia biasa, aku hanya seorang ibu biasa. Aku bukan ibu peri yang selalu tampak lemah lembut, baik hati, gak pernah marah. bukan malaikat yang tanpa cela. Bukankah melakukan salah itu hal manusiawi? Aku harus bisa survive, jika tak ada yang bisa membantu, maka lakukan lah sendiri, aku pasti bisa!"
"Hey. Suamiku harus bekerja ekstra, karena kebutuhan hidup kita memang besar, dia tidak sedang bermain gila, aku mengenalnya begitu baik sejak bertahun-tahun lalu. Doakan dia dalam kebaikan."

Beruntung kala itu aku telah memiliki Tambah ASI Tambah Cinta, di grup itu aku memaksa diri berputar, mengubah energi negatif menjadi positif dengan cara membantu orang lain, meski hanya di dunia maya, aku tetap mencoba membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar ASI, menyusui, dll, dan ketika ada yang menyampaikan terima kasihnya karena telah bisa menyusui, atau minimal ketika aku tahu kalau ada yang terbantu, di kala itulah aku sedang menyembuhkan diriku sendiri.
Ini juga kurasakan setiap kali aku bisa melihat orang lain merasa terbantu, bahagia atas apa yang telah aku lakukan, baik itu di TATC, Dunia Karya Special Needs, Sahabat PRS, maupun Indonesia Rare Disorders.

Aku juga merasakan betapa Tuhan sungguh baik, berulang kali datang pertolongan-Nya tepat di saat aku membutuhkan, melalui tangan-tangan yang tak terduga.
Di usia Kirana sekitar 5 bulan, seorang teman memberikan Haberman Feeder, di usia Kirana sekitar 8 bulan, seorang teman lainnya menghibahkan breastpump dengan sistem double pump, dan semua ini membuatku lebih bisa mengefisienkan waktu untuk perah dan menyuapi Kirana, sehingga perlahan aku memiliki sedikit waktu lebih untuk beristirahat.
Perlahan tapi pasti, kelelahanku berkurang, ekspektasiku menurun, aku mulai merasakan perubahan kecil.
Di saat yang sama, aku merasakan perubahan kecil juga pada sikap suamiku, perubahan kecil ke arah positif.
Aku tak bisa mengatakan apakah kini aku sudah 'sembuh', tapi aku bisa katakan bahwa kini aku merasa jauh lebih baik, hubunganku dengan suami juga membaik, meski memang belum 100%.

Tak mudah memang.
Sangat tak mudah untuk bisa keluar dari kondisi di mana aku merasa sudah gila, berjuang sendiri, menaklukkan diri sendiri, menaklukkan ego, gengsi, kesombongan yang ada di dalam diri sendiri, memaafkan diri sendiri, memaafkan hal-hal yang telah membuat aku kecewa setengah hidup, sungguh bukan hal mudah, juga bukan hal yang menyenangkan. Tapi percayalah, ini bukan hal mustahil, dan ketika kita bisa melaluinya, kita akan merasakan menemukan diri yang lebih baik.
Semua butuh proses, maka jadikan semua hal menjadi proses untuk menjadikan diri yang lebih baik.
Menjadi stress, depresi, bukanlah hal yang memalukan, bukan karena kurangnya iman, bukan karena kita kurang bersyukur, tapi karena kita adalah MANUSIA.


Jakarta, 7 Desember 2016