Dia adalah putri yang pertama menjadikanku seorang ibu.
Dia adalah pelajaran pertama bagiku, meski aku tak tahu harus memulai dari mana, karena menjadi ibu tak ada manual book-nya.
Dia yang menerima saya apa adanya.
Kasih itu lemah lembut, dan tulus namun sangat kuat, demikian juga Kasih putriku.
Dia yang di usia ke 4 dengan semangat menantikan kehadiran adiknya, namun sayang, sang adik tak dapat segera ditemuinya, adiknya harus terlelap di buaian ruang NICU bersama pejuang kecil lainnya.
Masih terbayang wajah kecewanya saat dia dilarang masuk ke ruang itu, padahal awalnya dia sudah begitu senang akan bertemu adiknya.
Ya, dia sangat kecewa dan ternyata menangis (aku baru tahu saat dia berusia 6 tahun dan kami melewati ruangan itu lagi, Kasih cerita,"Aku waktu itu nangis di situ, karena gak boleh ketemu dedek.").
Ketika adiknya pulang di usianya sebulan, Kasih pertama kali melihatnya, dia sangat senang tapi malu-malu, Kasih sedang batpil sehingga harus pakai masker, dia ingin sekali mencium adiknya, saya pun mengijinkan, sebentar saja, dan kemudian dia kembali harus berpisah dengan Kirana karena masih batpil, dia ikut ke rumah mbah lagi, menunggu sehat.
Ketika akhirnya Kasih berada di rumah, Kasih seringkali ingin ikut terlibat, dia minta menyuapi Kirana, aku pun mengijinkannya, dia sesekali ikut menyuapi Kirana pakai pipet.
Kasih juga ingin mencoba memangku Kirana, aku pun mengijinkannya, pelan-pelan, dan dia sangat senang.
Kasih suka minta memilihkan baju untuk Kirana, dan aku juga mengijinkan, dia akan kesal kalau baju pilihannya kukatakan kurang pas hehehehehehe.
Aku seringkali menyampaikan dengan kata-kata seperti,"Sebentar yah Kirana, mama mau masak buat mba Kasih dulu.", atau,"Sebentar yah Kirana, mama mau nemenin mba Kasih dulu.", atau hal lain serupa itu, dengan harapan agar Kasih tetap merasakan bahwa ada kalanya dia didahulukan, dan dia tetap istimewa.
Namun, di masa itu, aku sendiri masih dalam kondisi yang kurang baik, bukan karena terpuruk atas kondisi Kirana, namun karena kelelahan yang luar biasa dan kekecewaan atas sikap bapake.
Ya, di masa itu aku seringkali lepas kendali, rasa lelah yang luar biasa, ditambah kecewa, marah, bingung, takut, semua bercampur jadi 1, dan membuat emosiku tak terkendali.
Entah apakah aku terkena postpartum depression atau tidak, karena toh aku tak pernah ke psikolog atau psikiater untuk konsultasi dan mengetahui kondisi ini, aku masih ingat bagaimana reaksi suamiku ketika aku sampaikan perasaan dan kekhawatiranku akan bayang-bayang depresi.
"Kamu jangan cari pembenaran diri.", itu yang dia ucapkan, meski maksudnya adalah agar aku tidak terlalu khawatir, namun kata-kata itu terasa sangat menyakitkan dan mengecewakanku.
Ya dia yang tak hadir dalam hidupku di saat hidup terasa begitu berat bagiku, lalu berucap seperti itu.
Waktu itu, berulang kali aku merasa ingin pergi dari rumah, lari dari semua kondisi yang ada, bahkan aku juga berpikir untuk berpisah saja dari suami, kupikir percuma saja punya suami tapi jarang hadir, rasanya seperti janda bersuami.
Baca juga : Ketika Depresi Menghampiriku
Tahu siapa yang paling merasakan akibat dari kegilaanku?
ANAK.
Tentu saja anak-anak yang paling terkena imbas langsung.
Kirana masih bayi, dia begitu mungil, dan tampak ringkih, aku tak sampai hati meluapkan kegilaanku padanya.
Lalu siapa??
Kasih!
Ya, dialah anak yang pertama merasakan imbas dari segala kegilaanku, aku yang lepas kendali, meluap kepadanya, padahal dia tak bersalah.
Dia yang sedang berusaha mencari perhatian dariku yang terlalu sibuk berkutat dengan semua urusan Kirana, dan juga urusan pokok Kasih, hingga melupakan perhatian bagi Kasih.
Meski aku berusaha untuk tetap memberinya perhatian, meski aku berusaha membuatnya tetap merasa tak terabaikan, tetap merasa disayangi, tapi apa artinya dibandingkan pengabaian yang ada?
Kasih jadi tampak begitu menyebalkan karena aksinya yang selalu menentangku, tepat di saat rasa lelah, marah, kecewa, takut, dll bercampur jadi satu.
Ya, Kasih yang telah menerima seluruh kegilaanku.
Harus kuakui, aku semakin kecewa ketika dia bertanya,"Kapan papa pulang?", atau,"Kenapa papa gak pulang-pulang sih? Si A papanya juga kerja, tapi pulang.", atau sejenis itu, betapa kecewanya aku, karena sesungguhnya aku pun ingin keluarga yang utuh, ayah-ibu-anak, utuh dan sempurna, namun hal tersebut terasa begitu jauh dari angan.
Aku sering mengalihkan semua rasa negatif ku dengan melayani keluhan orang lain (aku punya beberapa support group), sehingga ketika mereka merasa terbantu, demikian juga dengan aku, namun efeknya pasti juga semakin menyita waktuku.
Aku pasti telah menyakiti Kasih, seringkali, masa itu aku memang merasa hampir gila (atau mungkin memang sudah gila? Entahlah), maafkan mama, Kasih.
Ya, hubungan ibu dan anak memang tak selalu berjalan mulus, apalagi dengan hadirnya anak istimewa yang kasusnya juga rumit, membuat aku harus banyak mencurahkan waktu dan pikiran untuknya, dan hubunganku dengan Kasih mungkin sudah hancur sejak dulu, akulah yang menghancurkannya, bahkan mungkin aku juga merusak hubungan Kasih dengan Kirana.
"Oh, ibu macam apa kamu ini?", mungkin orang akan berpikir seperti ini jika tahu apa yang terjadi kala itu, yah mungkin aku akan dinilai sebagai ibu yang kejam, sadis, gak sayang anak, dll.
Tapi apakah demikian?
Entahlah.
Aku sudah cukup tersiksa dengan apa yang kulakukan, aku yang tahu berbagai teori parenting, membuat aku lebih menyadari seluruh kesalahan yang aku lakukan, dan tak bisa mengendalikan diri, meski rasanya sangat ingin memperbaiki keadaan, itu sangat menyiksa, membuat rasa bersalah berkali lipat.
Lalu bagaimana dengan Kasih?
Dia jadi semakin annoying, dia sering menentang, dan ini sering membuatku semakin marah.
Aku? Aku merasa semakin bodoh.
Kini semua terasa membaik, perlahan aku keluar dari kegilaanku sendiri, tak mudah, sangat tak mudah, karena aku harus melawan diri sendiri, menekan ego.
Namun semua yang terjadi tak bisa dihapus, aku harus membayar apa yang kulakukan, dan ini pasti tak mudah.
Beberapa waktu lalu aku ikut talkshow dengan materi parenting yang sangat bagus, rasanya ingin menangis, karena aku tahu bahwa aku telah banyak melakukan kesalahan yang diungkapkan dalam materi tersebut, aku seperti ditambar, dikeplak, dijewer, diapain aja deh pokoke, yang jelas aku seperti semakin tersadar, bahwa aku harus memperbaiki hubungan dengan Kasih.
Untunglah Kasih adalah kakak yang istimewa, ketika kutanya,"Mama gimana Kasih?", Kasih menjawab,"Mama baik." (terpaksa kali yaah hahahahaha), tapi setidaknya aku rasa aku masih bisa memperbaiki keadaan.
Tahu gak?
Sekedar main lampu malam-malam sebelum tidur, itu sudah sangat membuat Kasih senang.
Sejak kondisiku membaik, emosiku lebih terkendali, rasanya Kasih juga lebih terkendali, yaah meski tetap ada ngeyelnya, banyak malah, tapi tidak seburuk dulu.
Daaan pesan bu dokter,"Anak semakin ngeyel itu semakin pintar dia.", pesan ini menyadarkanku, bahwa Kasih demikian karena dia pintar.
Aku tahu bahwa Kasih pasti tetap menyayangi Kirana dan juga aku, tapi hubungan kami harus diperbaiki, meski mungkin tak mudah, tapi masih bisa kan?
Aku pun masih percaya bahwa Kasih adalah anak yang baik, aku lah yang harus jadi ibu yang lebih baik untuknya.
Kasih, maafkan mama selama ini sudah banyak salah, maafkan mama, nak.
O iya mengenai talkshow yang kusebut itu, aku share sedikit review yaaah.
Poin-poin penting yang masih nyantol di memory nih :
1. Bangun komunikasi efektif dengan anak. Kadang kita ngobrol dengan anak tapi gak nyambung, tidak ada keterikatan emosi.
2. Sediakan waktu sepenuh hati untuk komunikasi dengan anak, singkirkan semua hal yang mengganggu (seperti gadget, komputer, dll).
3. Berempati lah pada anak.
4. Ayah dan ibu HARUS hadir semuanya (bukan cuma ibu, dan ini kurang banget di saiyah huhuhuhu)
5. Hati-hati sekali dengan verbal bullying (misal : "ya udah, kalau gak mau dengerin mama, kamu tinggal saja sama papamu, mama pergi!", atau yang lebih parah juga,"kalau kamu gak mau melakukan itu, kamu bukan anak mama!", atau lainnya), ini sangat bahaya karena sangat menyakitkan bagi anak.
6. Ada tehnik pernafasan yang bisa coba dilakukan jika kita sedang emosi : 627 artinya tarik nafas pelan-pelan selama sekitar 6 detik, lalu tahan sekitar 2 detik, kemudian hembuskan perlahan sekitar 7 detik. Ini biasa dipakai untuk tehnik relaksasi.
7. Ketika kita sedang sangat marah, kesal, sebaiknya lakukan time out, pergi ke ruangan lain, tenangkan diri.
Lalu saya juga sempat bertanya, tentu saja pakai acuan kondisi saya sendiri sih, yang punya anak 2, dan salah 1 adalah ABK, sering menghabiskan waktu ke RS, ayah jarang sekali hadir.
Jawabannya kurang lebih :
Bangun self esteem si sibling, sehingga meski kita banyak menghabiskan waktu dengan ABK kita, si sibling tetap percaya diri, tahu bahwa dia tetap disayangi.
Lalu juga libatkan si sibling dlm pengasuhan ABK kita, kita bisa sampaikan kondisi sibling-nya yang ABK, membutuhkan semua tindakan dan kunjungan medis yabg dilakukan, dan ini perlu dilakukan terus-menerus
Tips untuk mama Toyib (seperti saiyah) atau yang di rumah sendiri saja, mengerjakan semuanya :
Abaikan rumah berantakan, yang penting bisa luangkan waktu untuk anak-anak.
Atau libatkan anak untuk kegiatan seperti mencuci, menyapu, mengepel, masak, dll.
(Tapi ini yang nyebelin kalau papa Toyib ngedumel akibat rumah berantakan)
----------------------
Buat para ayah yang baca tulisan ini, please perhatikan istrimu, jangan biarkan dia bersusah payah sendiri, jangan kau anggap keluhannya sebagai sikap berlebih atau melebih-lebihkan. Rumah yang nyaman, anak-anak yang bahagia, harus dimulai dari ibu yang bahagia, untuk membuat ibu bahagia, diperlukan suami (ayah) yang bisa menjaga kesejahteraan ibu (jasmani dan mental), jangan abaikan keluhannya, hadirlah juga untuk si ibu.
Buat para ibu yang merasa mengalami hal serupa, aku ingin bilang,"Tenang bu, kamu gak sendiri.", kalau memang merasa hal serupa, ada baiknya bercerita pada suami, atau cari teman terpercaya untuk bercerita, jika perlu, kunjungi psikolog atau psikiater, cari bantuan, karena anak-anak membutuhkan ibu yang sehat jasmani dan mental.
Kau sangat berharga bu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar