Minggu, 26 Juni 2016

Kelainan Langka Itu Bernama Pierre Robin Sequence

8 Februari 2014, Kirana lahir, suamiku bilang bahwa semua suster menyebut-nyebut pirobin, yang aku sendiri tak tahu apa itu pirobin, saat itu aku dan suamiku memilih nama indah baginya, sebuah nama yang mengandung doa, Kirana Aisha Putri Wibowo, kami berharap putri kami yang cantik dan bercahaya akan selalu sehat dan ceria.

Saat itu, aku belum bisa melihat wajah putriku, ya, dia segera dibawa pergi tanpa sempat aku memandang wajahnya, Kirana mengalami asfiksia, semua begitu cepat, setelah dia lahir, tim medis segera membawanya ke NICU, sementara aku masih berada di ruang VK, dan beberapa saat kemudian baru dipindahkan ke ruang perawatan, ruang rawat kelas 3 berkapasitas 4 pasien, namun saat itu aku hanya sendiri, belum ada pasien lainnya.

Akhirnya waktu menunjukkan jam 11, artinya aku bisa bertemu putriku, aku pun tak sabar menemuinya, aku pun segera menuju ruang NICU, dan untuk pertama kalinya aku bisa memandang wajahnya, namun ini bukan pemandangan yang biasa dan menyenangkan, putri kecilku tampak seperti putri tidur, dia mungil, tubuhnya dipenuhi kabel alat pantau, jarum infus, di mulutnya terdapat sebuah selang kecil, dan dia berada di dalam sebuah kotak kaca bernama inkubator.
Aku tak dapat memeluknya apalagi menggendongnya, aku hanya bisa memasukkan tanganku melalui 'jendela' kecil di sisi inkubator dan mengusap pelan kepalanya, memegang lembut tangannya, aku hanya bisa berkata dalam hati,"Anak cantik, yang kuat yah, cepat sehat agar kita bisa pulang ke rumah.", aku yakin dia akan merasakannya.

Ibu mana yang tak bersedih saat menyaksikan buah hatinya dalam keadaan seperti itu?
Demikian juga denganku, rasanya sesak dan ingin menangis, namun aku tahu aku harus tetao kuat dan tersenyum, Kirana butuh energi positif, dia butuh kekuatan.

Selama berada di NICU, aku tak bisa menemani Kirana selama 24jam, aku hanya diperkenankan menjenguknya sesuai jadwal yang ditentukan.
Saat bertemu dengan salah satu dari tim dokter, beliau mengatakan,"Anak ibu dagunya kecil, dia pirobin.", aku pun bingung, aku tak pernah mendengar istilah tersebut sebelumnya, hingga akhirnya aku mencoba mencari info dengan cara browsing, aku memakai kata kunci 'dagu kecil, pirobin', dan akhirnya muncul lah beberapa info mengenai Pierre Robin Syndrome atau Pierre Robin Sequence, akhirnya aku mengetahui bahwa kelainan langka itu bernama Pierre Robin Sequence/Syndrome (PRS), meski saat itu kupikir PRS bukanlah masalah besar, karena kala itu yang kubaca di sebuah situs lokal, dagu kecil pada PRS akan berkembang dan mencapai ukuran normal di usia sekitar 3-18 bulan,"OK, it's not a big deal, i can handle it. Nanti akan berkembang dan semuanya akan baik-baik saja.", aku sama sekali tak menyangka bahwa PRS akan membawaku pada perjalanan panjang, teka-teki rumit dalam mencari 'diagnosa besar' bagi Kirana si peri imutku yang langka.

Sabtu, 25 Juni 2016

Hamil dan Melahirkan Putri Langkaku

Kehamilan ke 2 ku memang terasa lebih rewel jika dibandingkan dengan kehamilan pertamaku dulu, aku merasakan sakit saat duduk, sakit di area vagina, dan harus berjalan dengan sangat lambat jika baru bangun dari duduk karena rasa sakit tersebut, sakit ini kurasakan sejak usia kandungan sekitar 2 bulan sampai saat aku melahirkan, aku juga akan merasa mudah pusing dan mual jika terlalu lama berdiri atau kepanasan, aku mudah mimisan, hal yang tidak kurasakan ketika kehamilan pertama.

Kehamilan ke 2 ini juga cukup unik, karena aku bisa merasakan gerakan halus di perutku, sebelum aku tahu aku hamil, padahal ketika kehamilan ini terdeteksi, dokter memperkirakan usia kehamilanku masih kurang dari 4 minggu, hingga aku meyakini bahwa anakku ini adalah anak yang kuat, selain itu saat pertama aku melakukan tes kehamilan, yang awalnya muncul hanya 1 strip hingga aku pikir aku tak hamil, namun beberapa saat kemudian muncul 1 strip lagi yang sangat samar, sehingga aku ragu dan kemudian mengulang tes beberapa hari kemudian, dan hasilnya memang 2 strip.

Kurasa kehamilanku kali ini tidak ada masalah yang berarti, kurasa keluhan yang muncul hanya keluhan yang muncul pada umumnya ibu hamil, dokter pun tidak memberikan rambu adanya kejanggalan pada kehamilanku ini.

Aku memang masih gonta-ganti DSOG, mencari yang bisa membuatku merasa nyaman dan aman, mencari yang komunikatif dan kooperatif, hingga akhirnya aku memutuskan 1 nama, DSOG yang praktek di 2 RS incaranku untuk melahirkan, dan beliau juga yang pertama kali mencurigai ada yang janggal dengan kehamilan ini.
"Koq kayaknya ukuran janin agak kecil yah?", hal ini disampaikan ketika pertama kali aku bertemu beliau, saat itu usia kandunganku kisaran 5 bulan, dan beliau menyarankan untuk makan es krim setiap 3 hari sekali.
Saat itu aku merasa heran, kenapa tiba-tiba dikatakan demikian, aku coba merunut history USG yang ada di buku kesehatanku, dan ternyata memang ada yang janggal, namun saat itu aku masih denial, aku mulai berpikir bahwa ada salah satu dokter yang salah saat melakukan USG, namun aku tetap melakukan saran dokter untuk makan es krim setiap 3 hari sekali, dan rutin ANC (Antenatal Care), kebetulan untuk beberapa kali paska bertemu dokter yang kupilih ini, aku kembali tidak bertemu beliau, aku ANC dengan dokter yang lain, dan kembali tidak ada yang menyampaikan adanya kejanggalan pada kandunganku, hingga akhirnya saat kandunganku berusia sekitar 8 bulan, aku baru bertemu kembali dengan dokterku, dan hari itu beliau mengatakan,"Bu, ini PJT, Pertumbuhan Janin Terhambat, bukan tidak berkembang, hanya saja pertumbuhan janin ibu melambat. Sebaiknya ibu melakukan fetomaternal, saya rujuk yah bu."
Aku mulai merasa khawatir namun rasa denial itu masih ada, aku berusaha untuk terus mengatakan,"Janinku baik-baik saja.", namun sayangnya aku tak sempat melakukan fetomaternal, saat itu sedang musim hujan, banjir di mana-mana, dan suamiku juga sibuk dengan dinasnya.

Hingga hari itu tiba, 5 Februari 2014, tiba-tiba saja suamiku memintaku untuk bersiap-siap ANC, padahal dia sedang dinas jaga, Tuhan memang telah mengatur segalanya sedemikian rupa, hari itu menjadi ANC terakhirku, karena dokter memastikan janinku mengalami PJT, ketuban pun hanya 6, dan menyarankan terminasi, setelah dilakukan pematangan paru selama 3 hari, namun karena diperkirakan bayiku akan membutuhkan NICU (Neonate's Intensive Care Unit), maka beliau merujuk kami ke RS dengan fasilitas NICU, namun sebelumnya terlebih dahulu dilakukan CTG untuk mengetahui aktivitas janin dan denyut jantungnya, jika hasil CTG baik, maka kami diperkenankan berangkat keesokan harinya, namun jika jelek maka hari itu juga kami harus segera berangkat ke RS yang dituju. Alhamdulillah hasil CTG baik, sehingga kami bisa berangkat keesokan harinya.
Malam itu aku, dan suamiku, bertemu iparku yang kebetulan adalah perawat, kami bertemu di sebuah restoran 24jam yang memiliki fasilitas arena bermain agar Kasih juga bisa bersenang-senang, kami membicarakan kemungkinan yang akan terjadi, dan memutuskan memilih sebuah RS di kawasan Jakarta Barat untuk mencari 2nd opinion, malam itu kami ngobrol hingga sekitar jam 00, rasanya aku tak ingin melakukan terminasi, aku masih denial, aku masih ingin bayiku lahir di waktu yang dia inginkan, bukan karena terminasi, semua penolakan tersebut membuatku baru bisa tidur sekitat jam 3 pagi, padahal jam 4 pagi aku sudah kembali terjaga.

6 Februari 2014, kami bergegas berangkat setelah subuh, menuju rumah mertuaku terlebih dahulu untuk menitipkan Kasih, untunglah aku sudah banyak mengkomunikasikan hal ini kepada Kasih, sejak tahu aku hamil, aku sering bilang ke Kasih,"Nanti kalau dedenya mau lahir, mba Kasih sama mbah dulu yah, dedenya harus lahir di RS, mba Kasih kalau ikut nanti malah bisa kena sakit, karena RS banyak kumannya.", itulah yang sering aku ucapkan, aku juga menunjukkan kepada Kasih sebuah video proses persalinan, sambil mengatakan hal yang serupa, sehingga hari itu tak terlalu sulit meninggalkan Kasih di rumah mbahnya, dan kemudian barulah kami menuju RS mengendarai motor.
Hasilnya sama saja, dokter menjelaskan,"Janin ibu mengalami PJT, kemungkinan sejak awal kehamilan karena kecilnya simetris, mungkin karena pembuluh pada tali pusat yang kecil sehingga sulit mengantarkan makanan bagi janin terutama ketika janin semakin besar, makanya pertumbuhannya melambat, aliran darah ke janin juga meningkat, sehingga memang harus terminasi.", bahkan dokter ini menyarankan langsung terminasi hari itu juga, tanpa perlu melakukan pematangan paru, karena kandungan sudah cukup bulan, namun beliau menyerahan keputusan pada kami, dan memberikan kami waktu untuk berpikir. Aku dan suami merundingkan hal ini, rasanya masih tak percaya, aku masih denial, masih berharap tak perlu melakukan terminasi, namun pikiran rasionalku mulai mendesak, hasil pemeriksaan memang menunjukkan indikasi untuk dilakukan terminasi, aku juga bertanya kepada beberapa teman lainnya yang juga memiliki kompetensi di bidang ini, dan semua sarannya sama, aku pun mulai menangis, rasanya berat sekali harus mengalahkan ego dan mengakui bahwa kehamilanku harus diterminasi, hingga akhirnya aku dan suami memutuskan untuk mencari 3rd opinion, kami pun mencoba pergi ke sebuah RS di kawasan Jakarta Selatan.
Pemeriksaan kembali dilakukan, dan hasilnya tetap sama, kehamilanku harus diterminasi, namun karena fasilitas NICU maupun perina di RS tersebut penuh, kami pun memutuskan untuk kembali ke RS di kawasan Jakarta Barat.

Waktu menunjukkan jam 3 dini hari, ketika aku berada di UGD, 7 Februari 2014, aku harus benar-benar mengalahkan egoku, kehamilanku harus diterminasi demi menyelamatkan jiwa anakku, rasanya sesak di dada, aku ingin menangis,"Maafkan mama nak, mama gak bisa memberikan 'rumah' yang nyaman di dalam sana, kamu harus segera dilahirkan, yang kuat yah sayang, kita sama-sama berjuang, bantu mama.", hanya itu yang bisa terus aku katakan di dalam hati, sambil mengusap perutku.
Beberapa saat kemudian aku dipindahkan ke ruang persalinan (VK), dan dikabari bahwa proses induksi akan dilakukan sekitar jam 6, aku sedikit lega karena itu artinya aku bisa tidur sejenak setelah semua perjalanan melelahkan yang telah aku lalui.
Sekitar jam 6.00 proses induksi dimulai, aktivitas janin terus dipantau dengan CTG secara berkala, gelombang cinta itu mulai datang, aku pun tersenyum,"Yang kuat yah nak, ayo bantu mama, buka jalan lahirmu, kita berjuang sama-sama.", aku terus berkata dalam hati, sambil mengusap perutku, aku percaya bahwa anakku akan mendengarkan aku.
Selama proses induksi, aku masih bisa melakukan aktivitas seperti biasa, aku bisa makan, minum, ngobrol, tidur, bercanda, jalan, dsb, semua dijalani dengan santai.
Sekitar jam 13, dilakukan pemeriksaan dan telah ada pembukaan 1 menuju 2, kemudian sekali lagi obat induksi pun diberikan, dan pemantauan CTG terus dilakukan secara berkala, sekitar jam 18 kembali dilakukan pemeriksaan, baru pembukaan 2,"Ayo anak kuat, anak pintar, bantu mama, buka jalan lahirmu."

Waktu terus berlalu, gelombang cinta yang kurasakan terasa semakin kuat, hingga aku mulai sulit beristirahat, namun masih bisa tidur sekitar 15menit, dan aku terbangun, aku merasakan gelombang yang cukup kuat, dan juga ada cairan yang mengalir di vagina, kupikir ketuban pecah, aku pun turun dan berjalan ke kamar mandi untuk memeriksa sekaligus buang air kecil, ternyata bukan ketuban melainkan lendir darah yang cukup banyak, aku kembali ke kasur, kulihat suamiku meringkuk di sisi kasur, dia pasti sangat lelah, aku kembali merebahkan tubuhku, miring, dan aku kembali merasakan gelombang yang sangat kuat hingga tubuhku bergerak gelisah, dan suamiku terbangun, menyadari kondisiku dia langsung mencari bantuan, kemudian segera dilakukan pemeriksaan, dan ternyata sudah pembukaan lengkap,"Ini dia saatnya, terima kasih sayang, anak kuat, sebentar lagi kita akan bertemu.", dokter pun datang memberikan aba-aba dan bantuan, tepat jam 1.35, setelah proses induksi selama sekitar 18,5 jam, tanggal 8 Februari 2014, bayiku lahir, dengan berat hanya 2037gr, panjang 43cm dan lingkar kepala 30cm, tak kudengar suara tangisnya, tak bisa kupandangi wajahnya, aku hanya bisa melihat tubuh mungilnya dikelilingi tenaga kesehatan, entah apa yang mereka lakukan, semua begitu cepat hingga bayiku dibawa pergi ke NICU, dia mengalami asfiksia.

Aku lega sekaligus cemas,"Ada apa dengan bayiku? Mengapa mereka tidak mengijinkan aku memandangnya meski sejenak?", hingga suamiku kembali dan berkata,"Bayinya perempuan, suster pada bilang pirobin, gak tahu apa itu.", sekali lagi aku keheranan, aku tidak pernah tahu apa itu pirobin, namun aku menyimpan keherananku itu untuk memilih nama bagi bayi mungil kami, dan kami pun sepakat memberinya nama Kirana Aisha Putri Wibowo, kami berharap putri kami yang cantik bercahaya, akan selalu sehat dan riang.
Aku tak sabar ingin melihat bayiku, tapi aku harus menunggu hingga jam besuk tiba karena dia berada di NICU, dan kami hanya diperkenankan menjenguknya sesuai waktu yang ditentukan.