Minggu, 25 Desember 2016

MENGENAL PIERRE ROBIN SEQUENCE (PRS)




Kirana Aisha Putri Wibowo, putri ke 2 kami, lahir 8 Februari 2014.
Beberapa saat setelah Kirana terlahir, suamiku berkata,"Suster pada bilang kalau dagunya kecil, pirobin atau apa gitu, aku juga gak dengar jelas.", itulah kali pertama aku mendengar kata 'pirobin', tanpa tahu apakah itu pirobin.

Pelan-pelan aku mencari informasi, mencoba memahami apa itu pirobin, hingga aku tahu bahwa yang dimaksud adalah Pierre Robin Sequence (PRS), ada juga yang menyebutnya sebagai sindrom, bagiku apapun istilahnya tak menjadi masalah, yang penting penanganan bisa diberikan dengan tepat.

Dulu aku hanya menemukan sedikit informasi seputar PRS, dan hanya ada 1 artikel dalam bahasa Indonesia, dari sebuah situs.
Namun akhirnya aku menemukan PRS Foundation, sebuah NPO yang berpusat di Cape Town, hingga berkenalan dengan founder-nya, dan dari PRS Foundation lah akhirnya aku mendapatkan beberapa informasi mengenai PRS, berikut adalah salah 1 informasi singkat tentang PRS.

APAKAH PIERRE ROBIN SEQUENCE (PRS)?
PRS adalah suatu kondisi yang akan terlihat saat lahir,di mana bayi memiliki ukuran rahang bawah yang lebih kecil daripada ukuran normal atau lebih mundur dibandingkan dengan rahang atas, lidah yang jatuh di dalam tenggorokan dan menutup jalan nafas sehingga menyebabkan kesulitan bernafas. Sebagian besar bayi, namun tidak semua, juga akan memiliki langit-langit mulut yang tidak menutup sempurna (celah langitan/cleft palate), yang umumnya membentuk huruf U.

APA PENYEBABNYA?
Penyebab dasarnya adalah kegagalan perkembangan rahang bawah dengan normal sebelum lahir. Sekitar minggu ke 7-10 kehamilan, rahang bawah akan berkembang pesat, memungkinkan lidah terposisi dengan tepat di rongga mulut. Jika karena alasan tertentu, rahang bawah tidak berkembang dengan baik, lidah dapat menghambat penutupan langit-langit mulut, mengakibatkan celah langitan. Rahang bawah yang kecil atau terposisi tidak tepat juga menyebabkan lidah terposisi di belakang mulut, mungkin menyebabkan kesulitan bernafas saat lahir. Serangkaian kejadian ini yang menjadi alasan mengapa kondisi ini diklasifikasikan sebagai rangkaian deformasi. Pada beberapa pasien, karakteristik fisik ini bisa merupakan ciri dari sindrom lain atau kondisi kromosom. Yang paling umum adalah Stickler Syndrome.

SEBERAPA SERING PRS TERJADI?
PRS agak jarang terjadi dan diklasifikasikan sebagai penyakit langka. Sebuah studi prospektif Jerman melaporkan kejadian 12,4 per 100.000 kelahiran hidup. Sebaliknya, celah bibir dan/atau langitan terjadi 1 setiap 700 kelahiran hidup

PROGNOSA
Anak-anak yang terkena PRS biasanya mencapai perkembangan dan ukuran penuh. Namun, telah ditemukan dalam skala internasional bahwa anak-anak ini seringkali berukuran sedikit di bawah ukuran rata-rata, memperhatikan perkembangan yang tidak lengkap karena hipoksia kronis terkait dengan obstruksi jalan nafas serta kekurangan nutrisi karena kesulitan makan di awal atau gangguan perkembangan oral. Namun, prognosa umum cukup baik jika kesulitan makan dan bernafas teratasi saat bayi. Sebagian besar bayi PRS tumbuh menjadi dewasa yang sehat dan hidup normal.

GEJALA
• Cleft soft palate
• High-arched palate
• Rahang yang sangat kecil dengan dagu kecil (mundur)
• Rahang yang jauh ke belakang di tenggorokan
• Infeksi telinga berulang
• Lubang kecil di langit-langit mulut yang menyebabkan tersedak
• Lidah yang besar dibandingkan dengan rahang

Jika ingin tahu lebih banyak tentang PRS, bisa bergabung di grup FB Sahabat Pierre Robin Sequence (PRS)





Sabtu, 17 Desember 2016

Ibu adalah Duniaku

Ketika janin masih di dalam kandungan, dia menjadi 1 dengan ibu.
Suara jantung ibu adalah lagu terindah yang didengar janin.
Janin juga bisa merasakan sentuhan ibu, bahkan emosi ibu.

Lalu ketika dia lahir, semuanya berubah.
Dunia begitu hingar bingar, bising, penuh dengan semua hal asing yang belum dikenalnya.
Dunia tampak mengerikan baginya, dan dia butuh ketenangan dan rasa aman, dia baru saja akan memumbuhkan rasa percaya pada dunia.

Bisa dibayangkan rasanya?
Takut, kepanasan, kedinginan, lapar, bingung, kesal, sakit, bosan, dsb, namun dia belum bisa berkata, maka yang bisa dia lakukan hanyalah menangis.
Ya, menangis adalah satu-satunya cara bayi berkomunikasi, mengungkapkan rasa buruk yang dirasakannya, menangis adalah bahasa tanpa kata yang harus ibu pelajari agar mengerti.

Di awal kehidupannya, bayi hanya mengenal ibunya, suaranya, denyut jantungnya, baunya, ibu adalah satu-satunya dunia yang ramah bagi bayi.
Inilah mengapa, bayi begitu senang didekap ibu, berada dipelukan ibu terasa sebagai tempat paling aman, tenang dan nyaman bagi bayi.
Bayi juga begitu senang menyusu, bukan hanya karena lapar, tapi juga karena dia butuh rasa aman, nyaman dan tenang.
Maka susuilah bayi sesering mungkin, semau bayi, tak perlu ibu takut ASI tak cukup, karena Allah menciptakan sistem produksi ASI yang luar biasa, ASI diproduksi dengan prinsip supply by demand, semakin banyak dikeluarkan, baik itu dengan menyusui bayi maupun perah ASI, maka produksi juga akan semakin banyak. Namun produksi ASI juga bisa dipengaruhi mindset ibu, inilah mengapa sebagian ahli berpendapat bahwa ASI adalah mindgame, ibu perlu memiliki mindset positif, yakin ASI cukup, yakin pasti bisa, dan menjada komitmen untuk terus memberikan ASI.

Dengan menyusu, kebutuhan fisik (penuhan gizi, mengoptimalkan tumbuh kembang bayi, meningkatkan daya tahan tubuh, menhoptimalkan kecerdasan anak, skin2skin contact, eye contact, dll), dan juga kebutuhan mental (pemenuhan kebutuhan rasa aman, nyaman, tenang, rasa disayangi, membangun kepercayaan, executive function, bonding, dll) bayi akan terpenuhi, selain itu ibu juga mendapatkan manfaat yang tak ternilai (mengurangi resiko kanker payudara, mengurangi resiko gangguan mood paska melahirkan, meningkatkan self esteem pada ibu, dll) demikian juga bagi keluarga (manfaat ekonomis).

Maka berikanlah ASI eksklusif selama 6 bulan, lanjutkan hingga minimal 2 tahun plus makanan padat gizi seimbang.
Biarkan bayimu berada dalam dekapanmu, mendengar suara jantungmu, mencium aroma tubuhmu, karena ibu adalah dunia yang bayi kenal.


Kamis, 15 Desember 2016

ALASAN BERTAHAN

Membaca ini, mengingatkan hubungan saya dengan si bang Toyib.

Dalam suatu hubungan, kita bisa saja menemukan segudang alasan untuk berpisah, karena mencari kesalahan adalah hal mudah ;)
Tidak ada kecocokan lagi, sepertinya ini seringkali menjadi alasan perpisahan pasangan.

Saya mulai mengenal bapake sekitar tahun 2000, memulai hubungan cinta di tahun 2003 dan menikah di tahun 2009.
Dalam kisah kami, belum pernah ada kisah putus-nyambung.
Lalu apakah kami cocok? Gak juga koq.

Saya bawel banget, dia pendiam dan suka sebel kalau dengar kebawelan saya.
Saya mengandalkan komunikasi, sementara dia itu suka nyebelin dalam hal komunikasi, sering sulit dihubungi.
Saya orangnya berantakan banget, sementara dia maunya sih rapi, jadi dia sering sebel sama saya yang berantakan.
Dll, banyak laah kalau dibahas hihihihi.

Kata orang, ada yang namanya 'badai' 5 tahunan.
Dulu menjelang pernikahan, hubungan kami kisaran di angka 5 tahun, hampir 6 tahun, dan yes badai itu datang, kami ribuuuuut mulu, tapi sih teteup gak putus hahahahaahaha.
Meski dulu hanya pacaran, tapi yah kami cukup intens bertemu, karena kegiatan kami yaah sama saja, latihan bareng, tanding bareng, ngelatih juga bareng, bedanya yaah gak tinggal bareng saja.
Badai tersebut berlalu, dan kami tetap menikah.

Lalu masuk usia 5 tahun pernikahan, hadir seorang putri istimewa penuh teka-teki, tahun yang berat bagi kami, dan di saat yang sama dia mendapat tugas baru, pekerjaannya membuat dia semakin jarang pulang, jarang hadir di rumah, padahal kondisinya bukanlah kondisi ringan-ringan lucu melainkan ngeri-ngeri sedap.
Di saat rasanya saya berada di kondisi yang sangat berat, dan berharap suami hadir menjadi tempat bersandar yang mampu memberi semangat, wajar kan saya mengharapkan hal tersebut?
Namun kenyataan tidak seindah harapan.
Sejujurnya saya berada dalam kondisi yang terpuruk, rasanya memang hampir gila, saya berada di ujung kewarasan, semua rasa bercampur jadi satu.
Kecewa, marah, bingung, lelah, sakit, merasa tersisih, terabaikan, dsb.
Hubungan kami memburuk, segudang alasan membuat perpisahan berada di depan mata.
Saya merasa punya alasan cukup kuat untuk berpisah, pergi dari rumah, atau melakukan sesuatu untuk 'menghukum' suami atas semua yang telah dia lakukan.
Entah ke mana perginya rasa sayang yang membuat saya bersedia menerima pinangannya, semua seperti terhapus rasa kecewa yang dalam.

Ya, dalam pernikahan atau suatu hubungan kita mungkin bisa menemukan banyak alasan untuk berpisah, saya pernah merasakan hal tersebut.

Lalu apa yang membuat kami masih bertahan?
KOMITMEN.
Benar, bahwa kita harus bisa menemukan alasan untuk tetap mempertahankan pernikahan, dan bagi saya, komitmen adalah alasan utamanya.
Komitmen untuk tetap bertahan.
Komitmen untuk tetap memberikan bentuk keluarga yang utuh bagi anak-anak.
Komitmen untuk sekali lagi mencoba keluar dari badai, meski badai kali ini terasa sangat dahsyat.

Tak mudah memang tetap bertahan menghadapi badai besar seperti ini, bagi kami mungkin terasa double badainya : kondisi anak dan kondisi hubungan.
Bukan sedikit kisah perpisahan yang saya dengar berawal dari hadirnya anak istimewa dalam pernikahan, tapi bukan mustahil juga untuk tetap bertahan.

Lalu saya mulai memutuskan untuk berhenti.
Berhenti membuat standart harapan yang terlalu tinggi. Awalnya saya mau semua yang terkait dengan pemeriksaan Kirana terkejar dengan cepat, paralel, dan akhirnya saya longgarkan.
Berhenti berharap pada kehadiran suami. Saya tidak lagi memiliki harapan sebesar di awal kelahiran Kirana bahwa bapake akan hadir memberi support bagi saya, saya harus bisa bergerak sendiri, hingga akhirnya jika dia hadir yah anggap saja bonus.

Lalu saya merasa mulai ada perbaikan, dia pun berusaha juga untuk melakukan perbaikan.
Kini meski belum 100% pulih, namun setidaknya kami mencoba keluar dari badai besar ini, sedikit demi sedikit.

Ya, pernikahan tidak selamanya indah, tentu saja akan ada kerikil kecil hingga badai besar.
Pasangan tidak akan selamanya cocok, namanya juga beda individu heheheheehe.
Namun menemukan alasan untuk tetap bertahan adalah hal yang sangat penting, dan menjaga alasan tersebut dengan segenap jiwa dan cinta juga sangat penting, karena menemukan alasan untuk berpisah mungkin jauh lebih mudah.

Ingatlah bahwa tak ada badai yang abadi, dan di setiap badai berlalu, akan ada pelangi yang indah.
Ingatlah bahwa tantangan datang untuk diselesaikan, ketika kita mampu menyelesaikan tantangan dengan baik, maka kita akan naik level, lebih tinggi, lebih kuat.

Senin, 12 Desember 2016

MENGATASI TANTRUM



Tantrum biasanya terjadi pada anak-anak, hal ini sudah dibahas di tulisan  sebelumnya, lalu bagaimana cara mengatasi tantrum?

Saat anak menjadi tantrum, saat itu orangtua mendapat kesempatan untuk lebih mengenal anak, apa yang menyebabkan anak menjadi tantrum dan bagaimana me-manage kondisi agar anak juga memahami bagaimana mengungkapkan keinginan dan emosi dengan baik.

Anak biasanya tantrum karena keinginannya tidak tercapai, maka orang tua sebaiknya tetap tenang saat anak mengalami tantrum, dan tetap konsisten, jika telah menolak keinginan anak, maka jangan lalu berubah jadi menuruti keinginan anak, karena anak akan belajar bahwa tantrum bisa menjadi senjata ampuh untuk mencapai keinginannya.
Hal lain yang mungkin memicu tantrum adalah mencari perhatian, sebagai contoh adalah saat ada kehadiran anggota keluarga baru yang menyita banyak perhatian (misal : adik bayi), anak bisa menjadi tantrum karena iri dan mencari perhatian.

Bagaimana jika hal seperti ini terjadi?
Imho orangtua perlu mencari tahu sumber penyebab yang membuat anak menjadi tantrum, untuk kemudian menemukan solusi, jika anak tantrum karena iri dan mencari perhatian, maka ada baiknya orangtua menyisihkan waktu khusus untuk anak, lakukan komunikasi agar anak mengetahui bahwa ayah dan ibu tetap menyayanginya, usahakan juga melibatkan anak dalam kegiatan-kegiatan yang memungkinkan untuk dibantu si kecil, berikan reward atas hal baik yang dilakukan anak, namun dengan tetap menjaga komitmen untuk tidak menuruti anak saat dia tantrum.

Jika anak tantrum dengan cara mengamuk, menyakiti diri sendiri, sebaiknya jangan meninggalkan anak sendirian, tapi tetap temani anak, awasi dia, singkirkan benda-benda yang bisa melukai anak, jika perlu, peluk anak dari belakang, tunggu anak sampai tenang (komunikasikan ini), setelah itu baru ajak anak bicara.

Banyak yang bertanya,"Kasih tuh pernah iri sama Kirana gak sih?", pertanyaan ini disampaikan karena Kirana adalah anak berkebutuhan khusus (ABK), yang sejak lahir otomatis banyak sekali menyita perhatian dan waktu, setiap minggu pasti ada minimal 1 hari yang kami habiskan untuk berada di RS untuk kontrol kondisi Kirana atau sekedar untuk terapi sesuai jadwal, apalagi aku seringkali meng-handle semuanya seorang diri.
Harus diakui bahwa mungkin aku pun belum baik dalam mengontrol semua hal, sepertinya seringkali justru aku lah yang menjadi tantrum heheheheehe.

Saat Kirana lahir, Kasih berusia 4 tahun, aku masih ingat bagaimana dia bersemangat saat diajak menjenguk Kirana, terlihat sekali Kasih yang sangat ingin melihat adiknya, namun sayangnya, Kasih tidak diijinkan masuk ke ruangan NICU, wajahnya tampak kecewa dan sedih, dan belakangan ini aku baru tahu kalau kala itu, dia menangis, Kasih sendiri yang bilang saat kami berjalan melewati pintu ruangan di mana dulu Kirana dirawat, Kasih bilang "Dulu aku masih umur 4 tahun nangis di situ.", dan ketika aku tanya kenapa nangis, dia bilang karena gak boleh masuk lihat dede.
Ini hanya gambaran bagaimana sebenarnya anak, meski masih kecil, ternyata juga menyayangi adiknya, dan aku yakin bahwa kakak tetap ingin menjadi baik dan menjaga adiknya.

Apakah dengan demikian Kasih gak pernah iri?
Tentu saja pernah, bagaimana pun sebenarnya Kasih juga masih perlu diperhatikan, namun di saat yang sama, dia telah menjadi seorang kakal dari adik yang spesial, pasti ini juga tak mudah bagi Kasih.

"Mama mah, dede mulu yang diurusin."
"Kenapa sih kita harus ke RS terus?"
"Kapan dede bisa jalan?"
"Adiknya si H sudah bisa jalan, lucu deh, padahal dia lebih kecil daripada dede."
Dll dll
Semua itu pernah terlontar dari mulut mungil Kasih.
Aku menyingkapi hal ini dengan menjelaskan kepada Kasih kondisi sebenarnya, berharap dia akan mengerti, meski mungkin hal ini terlalu rumit untuk dipahami seorang kakak yang usianya masih kecil.

Apakah Kasih pernah tantrum karena hal ini?
Dia protes, namun mungkin karena usianya dan karena kebiasaan untuk bicara, jadi memang tak sampai ke tahap mengamuk (kayaknya sih emake ini yang tantrum mulu hahahaahhaha).
Aku mengusahakan untuk melibatkan Kasih dalam pengasuhan Kirana, menyebut Kasih dengan 'asisten kecil mama', aku juga biasa berkomunikasi dengan Kasih maupun Kirana.

"Tunggu yaah Kirana, mama mau masak dulu buat mba Kasih, gantian yah, Kirana kan sudah minum, sekarang mba Kasih mau makan."
"Tunggu yah mba Kasih, mama suapin Kirana dulu, gantian yaah."
Kira-kira begitulah aku berusaha membuat Kasih agar dia tahu bahwa ada saat tertentu, Kasih akan didahulukan, dan sebaliknya, karena sulit bagiku untuk meluangkan waktu khusus berdua Kasih, tak ada yang aku percaya untuk dititipkan Kirana, apalagi dulu kondisi Kirana belum sebaik saat ini.
Kasih juga terlibat dalam pengasuhan Kirana, seperti mengambilkan popok, memilihkan baju ganti, menyuapi ASIP atau makanan, berbagi makanan, dll.

Aku mengusahakan agar semuanya dikomunikasikan, bahkan dengan Kirana meski dia masih non verbal, aku juga mencoba menjaga komitmen, yang tidak yah tetap tidak meski Kasih memaksa, bahkan mencoba membandingkan dengan Kirana.

Bagaimanapun aku tentu bukan ibu yang sempurna, namun konsisten dalam hal mengatasi tantrum atau anak yang merajuk, memang aku lakukan sejak Kasih masih kecil, dulu dia pernah juga tantrum yang menangis berteriak koq hehehehe.

Bagiku kunci utama mengatasi anak yang tantrum adalah komitmen, konsisten dan komunikasi.
Komunikasi dengan anak memerlukan eye contact dan posisi sejajar.
Ini juga aku terapkan pada Kirana.


Bekasi, 13 Desember 2016



Rabu, 07 Desember 2016

KETIKA DEPRESI MENGHAMPIRIKU



Tak pernah terbayangkan bahwa aku akan menjadi seorang ibu dari seorang anak berkebutuhan khusus (ABK), dengan kelainan langka yang rumit, bahkan hingga kini, usianya 2 tahun 10 bulan, kami masih belum mengetahui diagnosa utama dari sindromnya sehingga masih banyak teka-teki kepingan puzzle yang harus kami temukan dan susun meski tanpa petunjuk yang jelas.

Memiliki anak dengan kelainan langka yang rumit tanpa tahu diagnosa utamanya, sungguh merupakan tantangan besar bagiku, menguji kekuatan mental, menantang kemampuanku terus belajar dan beradaptasi, membuatku harus mampu menundukkan ego, ketakutan, kegilaan dalam diriku sendiri.

Awal kelahiran Kirana, awal di mana aku baru mengenal apa itu Pierre Robin Sequence, awal di mana aku belum mampu membayangkan sebesar apa tantangan ini, awal di mana aku harus mulai beradaptasi dengan segala aktifitas yang menguras tenaga dan pikiran, awal dari kisah panjang istimewa, kala itu aku tak merasa melalui apa yang disebut fase denial, aku merasa baik-baik saja dengan diagnosa awal yang ku dengar, aku segera mencari informasi, tanpa sempat berlama-lama menangisi keadaan, aku bahkan tak menangis, aku merasa bahwa aku tak boleh terpuruk, bahwa aku harus kuat agar Kirana pun menjadi kuat, aku merasa bahwa segalanya harus berjalan baik dan cepat agar aku bisa segera mengetahui kondisi Kirana secara menyeluruh, semua pemeriksaan serta konsultasi harus segera dilakukan dengan cepat dan paralel agar aku bisa segera mengetahui bagaimana prognosis dari segala kondisi Kirana, dan tentu saja melakukan perbaikan, mungkin kala itu aku masih bisa dikatakan perfeksionis dalam hal terkait Kirana dan sikap suami.
Ya, aku mengharapkan sosok suami hadir mendampingiku, menjadi tempatku bersandar demi recharge energi, mengusir lelah dan sedih, aku berharap sosok suami yang mau memahami tekanan mental dan fisik yang aku alami, aku berharap sosok suami yang IDEAL mendampingi istri di masa berat tersebut.

Kala itu, aku harus memilih cara EPing karena resiko besar jika Kirana menyusu langsung, jalan nafasnya bisa tertutup dan aku bisa saja kehilangan Kirana untuk selamanya. EPing membuatku harus selalu perah ASI setiap 2-3 jam sekali dengan durasi 30-60 menit setiap sesinya, ini dilakukan selama 24 jam, terus-menerus, tanpa kenal waktu istirahat apalagi libur, dan ini artinya aku hanya punya sisa waktu 2-2,5 jam di antara jeda sesi perah.
Selama Kirana berada di RS, aku bisa menggunakan jeda waktu di antara sesi perah tersebut untuk istirahat, mengurus hal lain termasuk mengurus Kasih, namun ketika Kirana pulang ke rumah, di usianya 1 bulan, maka aku juga harus membagi waktu untuk menyuapi dia ASIP.
Kirana minum ASIP setiap 3 jam sekali, selama 24 jam, atau 8 kali dalam sehari, dan rupanya menyuapi Kirana adalah sebuah tantangan yang tak mudah, sesi minumnya menghabiskan waktu rata-rata 1-2 jam. Bisa dihitung, bahwa jadwal perah dan jadwal minum per 3 jam, jika perah menghabiskan waktu 1 jam dan menyuapi bisa menghabiskan waktu hingga 2 jam, makan habislah sudah seluruh waktuku selama 24 jam, tak tersisa untuk istirahat, atau sekedar meluruskan kaki, padahal aku juga harus mengurus Kasih.
Di sinilah titik di mana aku semakin frustasi, ditambah dengan sajian kondisi Kirana yang tidak begitu menyenangkan, di mana aku harus terus menyaksikan dia yang tampak sulit bernafas, tampak sesak, nafasnya berbunyi kencang (stridor), batuknya yang tampak buruk meski hanya tersedak liurnya sendiri, pertambahan berat yang termasuk lambat, perasaan bahwa ada yang tak beres dengan perkembangan, fungsi pendengaran dan penglihatannya, dst dst.
Dari waktu ke waktu, aku semakin banyak menemui dokter, semakin bertambah pula diagnosa baru atas diri Kirana, yang sebagian besar aku terima seorang diri, tanpa ada teman untuk bercerita lepas dan sekedar menangis dipelukannya.
Apalagi rupanya harapanku tentang sosok suami yang akan hadir mendampingiku, harapanku bisa bergerak cepat untuk memeriksakan Kirana, semuanya tak terwujud semulus rencanaku, lengkap sudah keruwetan hidupku saat itu, semuanya jauh dari ekspektasiku.
Aku pun merasa kecewa, marah, lelah luar biasa, hingga aku merasa mungkin aku sudah gila.
Aku ingin pergi dari rumah, emosiku tak karuan, aku ingin mengakhiri pernikahanku bahkan hidupku.

Ya, semua keinginan tersebut sempat singgah di benakku.
Aku sakit, bukan hanya sakit secara fisik, tapi juga sakit jiwaku.
Ketika aku sampaikan perasaan dan kekhawatiranku terhadap post partum depression (PPD), suamiku justru berkata,"Sudahlah, kamu jangan mencari pembenaran diri.".
Betapa aku merasa semakin kecewa, marah kepada dia yang aku harap mengisi ruang kosong di hatiku ketika semua terasa begitu buruk dan aku terpuruk, ternyata justru menamparku dengan kata-katanya.

Beberapa kali aku jatuh sakit, sendiri di rumah, dan harus tetap tegap berdiri melakukan semuanya, memikirkan segala kemungkinan yang ada pada diri Kirana, sementara suamiku begitu sibuk dengan urusan pekerjaannya, hingga dia jarang sekali pulang, dan komunikasi kami juga tidak lancar.

Beberapa orang telah berkata,"Lo yakin laki lo itu gak main gila?", di saat hampir bersamaan, muncul sms gelap mengaku seorang wanita yang sangat membutuhkan suamiku, memintaku menemuinya.

Aku tak tahu apakah aku memang mengalami PPD atau tidak, karena aku tidak pernah sekalipun menemui psikolog ataupun psikiater, tapi yang jelas aku tahu, bahwa aku merasa kewarasanku di ujung tanduk, aku telah menyakiti anak-anakku dengan emosiku yang meluap, ya aku pasti telah menorehkan banyak luka batin bagi mereka.

Kegilaanku bukan datang dari rasa denial.
Perfeksionis, kelelahan yang luar biasa, kekecewaan dan amarah yang memuncak, semuanya membakarku, mengikis kewarasanku, jika saja Tuhan tidak menyisakan sedikit kewarasan dan ketakutan dalam hatiku, mungkin saat ini aku tak lagi bisa menuliskan kisah ini.
Ya, bukan hanya sedikit kewarasan, Tuhan masih menganugerahi aku dengan sedikit ketakutan, hingga ketika muncul pikiran untuk pergi, mengakhiri pernikahan bahkan hidupku datang menghampiriku, aku masih takut, membayangkan bagaimana dengan anak-anakku nanti, bagaimana dengan Kirana yang kondisinya tak mudah dimengerti, bagaimana, bagaimana, bagaimana....
Sedikit rasa takut tersebut juga telah menyelamatkan jiwaku, menyelamatkan pernikahanku.
Aku pun mengalah, aku memutuskan untuk berhenti.
Berhenti mengharapkan sosok ideal seorang suami.
Berhenti memaksa diriku melakukan semuanya dengan cepat.
Berhenti mengharapkan segalanya sempurna sesuai rencana dan harapanku.
Aku pun mulai menurunkan standar harapanku, mulai belajar memaafkan diri sendiri, dan memaafkan suamiku.
"Hey. Aku hanya seorang manusia biasa, aku hanya seorang ibu biasa. Aku bukan ibu peri yang selalu tampak lemah lembut, baik hati, gak pernah marah. bukan malaikat yang tanpa cela. Bukankah melakukan salah itu hal manusiawi? Aku harus bisa survive, jika tak ada yang bisa membantu, maka lakukan lah sendiri, aku pasti bisa!"
"Hey. Suamiku harus bekerja ekstra, karena kebutuhan hidup kita memang besar, dia tidak sedang bermain gila, aku mengenalnya begitu baik sejak bertahun-tahun lalu. Doakan dia dalam kebaikan."

Beruntung kala itu aku telah memiliki Tambah ASI Tambah Cinta, di grup itu aku memaksa diri berputar, mengubah energi negatif menjadi positif dengan cara membantu orang lain, meski hanya di dunia maya, aku tetap mencoba membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar ASI, menyusui, dll, dan ketika ada yang menyampaikan terima kasihnya karena telah bisa menyusui, atau minimal ketika aku tahu kalau ada yang terbantu, di kala itulah aku sedang menyembuhkan diriku sendiri.
Ini juga kurasakan setiap kali aku bisa melihat orang lain merasa terbantu, bahagia atas apa yang telah aku lakukan, baik itu di TATC, Dunia Karya Special Needs, Sahabat PRS, maupun Indonesia Rare Disorders.

Aku juga merasakan betapa Tuhan sungguh baik, berulang kali datang pertolongan-Nya tepat di saat aku membutuhkan, melalui tangan-tangan yang tak terduga.
Di usia Kirana sekitar 5 bulan, seorang teman memberikan Haberman Feeder, di usia Kirana sekitar 8 bulan, seorang teman lainnya menghibahkan breastpump dengan sistem double pump, dan semua ini membuatku lebih bisa mengefisienkan waktu untuk perah dan menyuapi Kirana, sehingga perlahan aku memiliki sedikit waktu lebih untuk beristirahat.
Perlahan tapi pasti, kelelahanku berkurang, ekspektasiku menurun, aku mulai merasakan perubahan kecil.
Di saat yang sama, aku merasakan perubahan kecil juga pada sikap suamiku, perubahan kecil ke arah positif.
Aku tak bisa mengatakan apakah kini aku sudah 'sembuh', tapi aku bisa katakan bahwa kini aku merasa jauh lebih baik, hubunganku dengan suami juga membaik, meski memang belum 100%.

Tak mudah memang.
Sangat tak mudah untuk bisa keluar dari kondisi di mana aku merasa sudah gila, berjuang sendiri, menaklukkan diri sendiri, menaklukkan ego, gengsi, kesombongan yang ada di dalam diri sendiri, memaafkan diri sendiri, memaafkan hal-hal yang telah membuat aku kecewa setengah hidup, sungguh bukan hal mudah, juga bukan hal yang menyenangkan. Tapi percayalah, ini bukan hal mustahil, dan ketika kita bisa melaluinya, kita akan merasakan menemukan diri yang lebih baik.
Semua butuh proses, maka jadikan semua hal menjadi proses untuk menjadikan diri yang lebih baik.
Menjadi stress, depresi, bukanlah hal yang memalukan, bukan karena kurangnya iman, bukan karena kita kurang bersyukur, tapi karena kita adalah MANUSIA.


Jakarta, 7 Desember 2016