Minggu, 03 Juli 2016

Menyusui Kasih : Flat Nipple, Inverted Nipple, Working Mom

26 Januari 2010, setelah sekitar 10 menit berada di ruang VK, lahirlah Kasih Aulia Putri Wibowo.
Untuk pertama kalinya aku mendengar tangisan bayi yang terlahir dari rahimku, yang sesaat setelah lahir, dia diletakkan di atas tubuhku untuk melakukan IMD, namun sayang, saat itu aku masih minim info, aku berharap bayiku bisa melakukan IMD namun aku belum memahami prosedurnya, namun hal tersebut tidak mengurangi niatku untuk menyusui bayiku.

Beberapa jam setelah kelahiran Kasih, aku pun bisa segera memeluknya, menggendong dan menyusui dia, aku tak pikir panjang, hanyak dengan mendekapnya dan mendekatkan tubuh mungil itu ke dadaku, dia menyusu, aku pun bahagia, aku tak menyangka bahwa untuk berhasil menyusui ternyata membutuhkan niat baja dan ilmu yang tepat.

Hari-hari pertama kelahiran Kasih terasa menyenangkan, hingga aku menyadari bahwa dia menyusu sangat sering, aku pun sempat berpikir,"Jangan-jangan ASI-ku kurang.", namun saat itu aku coba menekan putingku, daaan keluar lah ASI, meski hanya setetes tapi cukup membuatku yakin bahwa ASI-ku ada dan cukup.
Kasih menyusu sangat sering, dia bisa menempel padaku selama 1-2 jam bahkan lebih, dan setelah 1/2 jam lepas, dia akan kembali mencari, dia menempel padaku seperti perangko.
Semakin hari, kurasakan perih di putingku, aku menangis dan ada rasa takut jika saat menyusui tiba, hingga suamiku kasihan melihatku, dia berniat membelikan sufor untuk Kasih, tapi aku menolak, hal tersebut membuatku ngotot untuk bisa menyusui Kasih meski rasanya luar biasa perih.
Ternyata aku memiliki 1 flat nipple dan 1 inverted nipple, ketika itu, aku yang masih minim ilmu menyusui merasa kesulitan, apalagi rasa perih itu terasa menyiksa, terutama di inverted nipple, aku mencoba mengakali dengan breastpump, aku coba pumping sesaat sebelum menyusui, sekedar untuk menarik puting keluar, dan ketika puting sudah sedikit menyembul, aku buru-buru memberikannya pada Kasih, cara ini cukup berhasil, Kasih bisa menyusu dengan lebih baik. Aku memilih breastpump dengan asumsi, jika saat menarik puting ada ASI yang keluar maka ASI tersebut tidak akan terbuang percuma.
Rasa perih saat menyusui belum sepenuhnya hilang, apalagi pada puting yang tenggelam, rasanya memang lebih sulit dan lebih perih, namun aku tetap menyusui, aku tak mau menyerah, hingga suatu hari, rasa perih itu hilang, dan aku bisa menyusui dengan nyaman.

Saat itu, aku masih berstatus sebagai karyawati di sebuah perusahaan swasta, sehingga jika aku ingin tetap memberikan ASI untuk Kasih, aku harus menyediakan stok ASI perah (ASIP), awalnya aku santai saja, hingga seorang kolega menyarankan untuk segera mulai mengumpulkan stok ASIP.
Ketika itu usia Kasih sekitar 2 bulan, aku mulai membuat stok, awal mencoba perah ASI, aku hanya bisa membasahi pantat botol, ASI yang keluar hanya sekitar 10ml, namun aku tetap bersyukur, tak terpikir,"Koq sedikit banget sih?", aku terus melakukan perah ASI, hasil perah selama 24jam, yang sedikit-sedikit itu kukumpulkan hingga menjadi 100ml/botol, kugabungkan setelah suhunya disamakan terlebih dahulu dengan cara sama-sama kusimpan di kulkas sebelum digabungkan.
Menjelang masa cuti habis, aku memiliki stok ASIP sebanyak 40 botol @100ml, dan stok itulah yang kupakai selama aku bekerja.

Saat aku mulai kembali bekerja, aku perah ASI secara rutin, sekitar 3-4jam sekali, malam hari pun setelah aku pulang dan setelah Kasih tertidur, aku juga melakukan perah ASI, sekitar jam 2 dini hari aku juga perah ASI, demikian juga saat weekend dan libur kantor, aku perah ASI juga.
Pola ini kupertahankan hingga Kasih berusia sekitar 15 bulan, lalu mulai aku kurangi setelah mengevaluasi bahwa input (hasil perah yang kubawa pulang) dengan output (ASIP yang diminum Kasih), sudah selalu lebih banyak input, sehingga stok selalu surplus, dan sempat kudonorkan.

Kasih mendapatkan haknya atas ASI hingga dia lulus weaning with love (WWL) di usia sekitar 2 tahun 8 bulan, tanpa paksaan, tanpa tangisan, tanpa kebohongan, tapi dia lah yang memutuskan untuk berhenti.
Aku bukan tipe ibu dengan supply ASI yang banyak, aku bahkan tidak merasakan ASI yang merembes, payudara yang bengkak karena 'penuh', selama aku ngantor, aku tak menggunakan breastpad, karena toh ASI ku tidak pernah merembes, aku juga tidak memiliki 1 pun puting yang normal, dan kala itu aku masih berstatus karyawati swasta, yang bekerja sangat mobile, sehingga aku harus perah di mana pun kapan pun, bisa di meja kerjaku sendiri, sambil mengetik dan menelpon klien, bisa di mobil saat perjalanan menuju kantor klien, bisa di kantor klien, bisa di gudang, atau bahkan di toilet jika terpaksa. Selama menyusui Kasih, aku merasakan 3 perusahaan, dan tidak ada 1 pun perusahaan ini yang memiliki fasilitas dan kebijakan khusus bagi ibu menyusui, namun semua hal tersebut tidak menghalangiku untuk terus ngASI untuk Kasih, bermodalkan keras kepala, tekad baja, breastpump, nursing apron, hand sanitizer, tissue, cooler bag/box, ice gel, kantong khusus untuk membawa seluruh 'peralatan perang' tersebut, aku berhasil menunaikan kewajibanku untuk memberikan ASI bagi Kasih meski harus menghadapin beberapa tantangan umum bagi ibu menyusui.

Kini Kasih tumbuh menjadi anak yang cerdas, mandiri, kuat dan hebat, dia juga telah menjadi kakak yang hebat bagi adik yang berkebutuhan khusus.