Tampilkan postingan dengan label Pierre Robin Syndrome. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pierre Robin Syndrome. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2017

CLEFT PALATE

Pierre Robin Sequence (PRS), memiliki rangkaian defek atau dikenal sebagai trias PRS.
Anak yang terlahir dengan PRS juga akan mengalami kelainan pada langit mulut (palatum), yaitu langit mulut bercelah/terbelah/bolong (cleft palate), atau langit mulut letak tinggi (high-arched palate).

Sebelumnya aku sudah menyampaikan sedikit informasi soal micrognathia dan high-arched palate, maka kali ini aku akan menyampaikan sedikit informasi soal cleft palate (dan juga cleft lip atau yang umum kita kenal sebagai bibir sumbing).

Cleft palate tampil dengan bentuk huruf U dan V.
Jika anak PRS yang mengalami cleft palate, maka cleft palate akan tampil dengan bentuk huruf 'U' (U shape)

Berikut sedikit informasinya

-------------------------------
CELAH BIBIR DAN LANGIT-LANGIT

DEFINISI
Celah Bibir dan Celah Langit-langit adalah suatu kelainan bawaan yang terjadi pada bibir bagian atas serta langit-langit lunak dan langit-langit keras mulut. Celah bibir (Bibir sumbing) adalah suatu ketidaksempurnaan pada penyambungan bibir bagian atas, yang biasanya berlokasi tepat dibawah hidung. Celah langit-langit adalah suatu saluran abnormal yang melewati langit-langit mulut dan menuju ke saluran udara di hidung.

PENYEBAB
Celah bibir dan celah langit-langit bisa terjadi secara bersamaan maupun sendiri-sendiri. Kelainan ini juga bisa terjadi bersamaan dengan kelainan bawaan lainnya. Penyebabnya mungkin adalah mutasi genetik atau teratogen (zat yang dapat menyebabkan kelainan pada janin, contohnya virus atau bahan kimia). Selain tidak sedap dipandang, kelainan ini juga menyebabkan anak mengalami kesulitan ketika makan, gangguan perkembangan berbicara dan infeksi telinga. Faktor resiko untuk kelainan ini adalah riwayat celah bibir atau celah langit-langit pada keluarga serta adanya kelainan bawaan lainnya.

GEJALA
Gejalanya berupa: pemisahan bibir
pemisahan langit-langit pemisahan bibir dan langit-langit
distorsihidung
infeksi telinga berulang
berat badan tidak bertambah
regurgitasi nasal ketika menyusu (air susu keluar dari lubang hidung).

DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik di daerah wajah.

PENGOBATAN
Pengobatan melibatkan beberapa disiplin ilmu, yaitu bedah plastik,ortodontis, terapi wicara dan lainnya. Pembedahan untuk menutup celah bibir biasanya dilakukan pada saat anak berusia 3-6 bulan. Penutupan celah langit-langit biasanya ditunda sampai terjadi perubahan langit-langit yang biasanya berjalan seiring dengan pertumbuhan anak (maksimal sampai anak berumur 1 tahun). Sebelum pembedahan dilakukan, bisa dipasang alat tiruan pada langit-langit mulut untuk membantu pemberian makan/susu. Pengobatan mungkin berlangsung selama bertahun-tahun dan mungkin perlu dilakukan beberapa kali pembedahan (tergantung kepada luasnya kelainan), tetapi kebanyakan anak akan memiliki penampilan yang normal serta berbicara dan makan secara normal pula. Beberapa diantara mereka mungkin tetap memiliki gangguan berbicara.

Sumber : http://www.spesialis.info/?penyebab-celah-bibir-%28bibir-sumbing%29-celah-langit-langit%2C933 Diakses 14/10/2014
--------------------------------------

Kirana sendiri tidak mengalami cleft palate, tapi mengalami high-arched palate, namun kini kondisi palatumnya sudah normal (berdasarkan hasil MRI di November 2015), tanpa tindakan medis apapun (karena tidak bercelah).

HIGH-ARCHED PALATE

Setelah sebelumnya aku sudah coba sedikit membahas soal micrognathia, kali ini aku akan coba sedikit membahas tentang trias PRS yang lainnya, yaitu high-arched palate.

Kirana juga mengalami ini, high-arched palate atau palatum (langit mulut) letak tinggi.
Awalnya ketika Kirana masih berada di NICU, aku sempat tanyakan pada dokter mengenai kondisi langit mulutnya, namun kala itu, dokter menyampaikan bahwa langit mulutnya normal, tidak bercelah, tapi ternyata ketika Kirana berusia sekitar 5 bulan, untuk pertama kalinya kami membawanya konsultasi ke poli gizi dan dokter di poli gizi lah yang menyampaikan bahwa langit mulut Kirana itu tinggi, ini yang kemudian aku ketahui namanya adalah high-arched palate.

Apa sih high-arched palate?
Berikut sedikit pembahasannya.

----------------------------------
HIGH-ARCHED PALATE

Merupakan suatu kondisi di mana palato (langit mulut) lebih tinggi dan sempit dibanding ukuran normal.
Biasanya high-arched palate merupakan kondisi istimewa yang mungkin terisolasi ataupun terkait dengan sejumlah kondisi lain.

High-arched palate yang terisolasi bukanlah suatu masalah,merupakan variasi normal,namun bisa juga merupakan bagian dari manifestasi fisik dari sindrom yang memiliki kondisi kepala dan leher yang abnormal,serta gangguan pendengaran.
High-arched palate mungkin menyebabkan saluran nafas menyempit dan gangguan bernafas saat tidur,seperti mengorok,sleep apnea.

Beberapa kondisi yang mungkin terkait dengan high-arched palate :
- Crouzon syndrome
- Down syndrome
- Apert syndrome
- Treacher Collins syndrome
- Marfan syndrome
- Incontinentia pigmenti
- Pierre Robin Sequence
Dsb

Sumber :
https://en.m.wikipedia.org/wiki/High-arched_palate
https://www.healthtap.com/topics/what-does-a-high-arched-palate-mean

Diakses tanggal 3 Juli 2015
---------------------------

Kabar baiknya adalah dari hasil MRI Kirana, yang dilakukan pada November 2015, tampak palatum yang normal, aku sempat bertanya kepada seorang dokter spesialis bedah mulut soal ini, beliau pun membenarkan bahwa semua kondisinya memang bisa berkembang ke arah yang lebih baik.
Maka aku anggap high-arched palate Kirana, juga sudah catch up.

MICROGNATHIA

Pierre Robin Sequence (PRS) memiliki trias, yaitu
• micrognathia dan atau retrognathia
• glossotopsis
• cleft palate atau high-arched palate

Penjelasan singkat tentang PRS bisa dibaca di sini.

Jadi ceritanya gini, saat anak masih berupa janin, di dalam kandungan ibu, rahang bawahnya (dagu) gagal bertumbuh sehingga ukuran dagunya pun menjadi sangat kecil (atau disebut micrognathia), dan atau juga mundur (retrognathia), lalu karena dagunya gagal tumbuh, sementara lidahnya terus bertumbuh, maka lidah yang semakin besar akan mendorong palatum (langit mulut), hal ini menyebabkan palatum menjadi tinggi (high-arched palate) atau bahkan bolong (cleft palate), dan lidahnya yang berukuran normal pun jadi 'jatuh' di saluran nafas (glossotopsis), menutup jalan nafasnya.
Demikianlah kira-kira alkisah seorang bayi akhirnya terlahir dengan Pierre Robin Sequence, karena serangkain kejadian di dalam rahim ibu, sehingga disebut sequence.

PRS bisa berdiri sendiri, hanya trias PRS, tanpa kondisi penyerta maupun penyulit lainnya, atau disebut PRS isolated.
Namun PRS bisa juga menjadi bagian dari sindrom lainnya, atau biasa disebut PRS non isolated.
Kirana sendiri mengalami PRS non isolated, dengan beragam kondisi penyerta lainnya.

Oke, sekarang aku akan coba bahas trias PRS secara terpisah, satu per satu, dimulai dengan defek utama PRS yaitu micrognathia, berikut informasinya.

------------------
MIKROGNATI (MICROGNATHIA)
Mikrognati (baca : mi-kro-ge-na-ti) adalah istilah yang menggambarkan sebuah rahang bawah normal yang kecil. Pada mikrognati, rahang yang cukup kecil dapat mengganggu saat makan. Bayi dengan mikrognati mungkin perlu puting khusus sebagai alat bantu. Mikrognati mungkin kelainan yang sering terjadi pada anak. Hal ini juga dapat disebabkan oleh kelainan bawaan dan sindrom tertentu.

Penyebabnya secara umum antara lain :
1.Pierre robin syndrome
2.Sindromhallerman-streiff
3.Trisomi 13
4.Trisomi 18
5.Turner syndrome
6.Progeria
7.Treacher collins syndrome
8.Smith lemli opitz syndrome
9.Russell silver syndrome
10.Sindrom Seckel
11.Sindrom Cri Du Chat
12.Sindrom Marfan

Manifestasi klinis pada mikrognati bisa dilihat dari pemeriksaan fisik. Ditemukannya bentuk serta ukuran rahang bawah yang lebih kecil dari ukuran normal. Pada bayi bisa didapatkan kesusahan dalam meminum sesuatu.

Mikrognati adalah salah satu penyebab abnormal aligment gigi. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan penutupan gigi karena sering kali tidak akan ada cukup ruang untuk tumbuh gigi. Mikrognati kadang tidak berdiri sendiri, misalnya pada sindrom pierre robin gejalanya mikrognati, hipoglossus, dan cleft palatum. Pada trisomi 18 gejalanya kelainan pada telinga, mikrognati, benjolan pada oksipital, panggul yang sempit, kaki rocker bottom. Pemeriksaan penunjang mungkin diperlukan seperti skull ray dan foto gigi.
Jika ada gejala lain yang mengindikasikan adanya faktor keturunan, dan sudah mengganggu pembedahan atau peralatan ortodontik mungkin dianjurkan.

PENYEBAB
Mikrognati bisa diwariskan secara genetik atau disebabkan oleh mutasi genetik. Pada sebagian kasus yg langka, penyebabnya masih belum diketahui.

SIMPTOM
Anak dengan mikrognati seringkali menunjukkan tanda gagal tumbuh (failure to thrive), suatu kondisi yg digambarkan dengan grafik pertumbuhan (growth chart) yg kurvanya memotong 2 garis.
Simptom mikrognati bisa bervariasi pada setiap anak,tapi bisa meliputi :
• apnea (henti nafas sementara saat tidur).
• kesulitan makan/minum.
• pemberian makan/minum yg membutuhkan waktu lama).
• nafas yg berisik (stridor).
• sulit tidur.
• kenaikan berat badan yg lambat atau sangat lambat.
• dalam beberapa kasus yg jarang, anak akan menjadi biru saat makan/minum atau saat tidur sbg akibat dr kesulitan bernafas.

PENANGANAN MIKROGNATI
Sebagian besar anak dg mikrognati tidak membutuhkan tindakan operasi. Penanganan mikrognati tanpa operasi meliputi :
• posisi tidur yg tepat yaitu tengkurap agar lidahnya tidak menutup jalan nafas
• Nasopharyngeal airways — berupa tuba fleksibel dg corong di ujungnya, dan bisa dimasukkan ke dalam saluran pernafasan untuk membuka jalan nafas. Jika cara sederhana ini tidak membantu,maka mungkin diperlukan tindakan operasi. Tindakan operasi meliputi :
• tongue-lip adhesion procedure.
• mandibular distraction osteogenesis (MDO).
• tracheostomy..

Sumber :
https://doktermaya.wordpress.com/2011/11/04/mikrognatia/?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C6368539257 • http://www.chop.edu/service/plastic-and-reconstructive-surgery/conditions-we-treat/craniofacial-conditions/micrognathia.html

Semua sumber diakses tanggal 28/9/2014
-----------------------

Kirana sendiri tidak melakukan tindakan apapun terkait micrognathia-nya, cukup dengan wait and see, memperhatikan posisi tidur terutama di awal kehidupannya, dan kini dagunya pun catch up sendiri, terlihat dari hasil MRI di November 2015, bahwa dagunya dinyatakan normal.

Mengenai defek lainnya, akan coba dibahas di artikel selanjutnya yaah.

Minggu, 25 Desember 2016

MENGENAL PIERRE ROBIN SEQUENCE (PRS)




Kirana Aisha Putri Wibowo, putri ke 2 kami, lahir 8 Februari 2014.
Beberapa saat setelah Kirana terlahir, suamiku berkata,"Suster pada bilang kalau dagunya kecil, pirobin atau apa gitu, aku juga gak dengar jelas.", itulah kali pertama aku mendengar kata 'pirobin', tanpa tahu apakah itu pirobin.

Pelan-pelan aku mencari informasi, mencoba memahami apa itu pirobin, hingga aku tahu bahwa yang dimaksud adalah Pierre Robin Sequence (PRS), ada juga yang menyebutnya sebagai sindrom, bagiku apapun istilahnya tak menjadi masalah, yang penting penanganan bisa diberikan dengan tepat.

Dulu aku hanya menemukan sedikit informasi seputar PRS, dan hanya ada 1 artikel dalam bahasa Indonesia, dari sebuah situs.
Namun akhirnya aku menemukan PRS Foundation, sebuah NPO yang berpusat di Cape Town, hingga berkenalan dengan founder-nya, dan dari PRS Foundation lah akhirnya aku mendapatkan beberapa informasi mengenai PRS, berikut adalah salah 1 informasi singkat tentang PRS.

APAKAH PIERRE ROBIN SEQUENCE (PRS)?
PRS adalah suatu kondisi yang akan terlihat saat lahir,di mana bayi memiliki ukuran rahang bawah yang lebih kecil daripada ukuran normal atau lebih mundur dibandingkan dengan rahang atas, lidah yang jatuh di dalam tenggorokan dan menutup jalan nafas sehingga menyebabkan kesulitan bernafas. Sebagian besar bayi, namun tidak semua, juga akan memiliki langit-langit mulut yang tidak menutup sempurna (celah langitan/cleft palate), yang umumnya membentuk huruf U.

APA PENYEBABNYA?
Penyebab dasarnya adalah kegagalan perkembangan rahang bawah dengan normal sebelum lahir. Sekitar minggu ke 7-10 kehamilan, rahang bawah akan berkembang pesat, memungkinkan lidah terposisi dengan tepat di rongga mulut. Jika karena alasan tertentu, rahang bawah tidak berkembang dengan baik, lidah dapat menghambat penutupan langit-langit mulut, mengakibatkan celah langitan. Rahang bawah yang kecil atau terposisi tidak tepat juga menyebabkan lidah terposisi di belakang mulut, mungkin menyebabkan kesulitan bernafas saat lahir. Serangkaian kejadian ini yang menjadi alasan mengapa kondisi ini diklasifikasikan sebagai rangkaian deformasi. Pada beberapa pasien, karakteristik fisik ini bisa merupakan ciri dari sindrom lain atau kondisi kromosom. Yang paling umum adalah Stickler Syndrome.

SEBERAPA SERING PRS TERJADI?
PRS agak jarang terjadi dan diklasifikasikan sebagai penyakit langka. Sebuah studi prospektif Jerman melaporkan kejadian 12,4 per 100.000 kelahiran hidup. Sebaliknya, celah bibir dan/atau langitan terjadi 1 setiap 700 kelahiran hidup

PROGNOSA
Anak-anak yang terkena PRS biasanya mencapai perkembangan dan ukuran penuh. Namun, telah ditemukan dalam skala internasional bahwa anak-anak ini seringkali berukuran sedikit di bawah ukuran rata-rata, memperhatikan perkembangan yang tidak lengkap karena hipoksia kronis terkait dengan obstruksi jalan nafas serta kekurangan nutrisi karena kesulitan makan di awal atau gangguan perkembangan oral. Namun, prognosa umum cukup baik jika kesulitan makan dan bernafas teratasi saat bayi. Sebagian besar bayi PRS tumbuh menjadi dewasa yang sehat dan hidup normal.

GEJALA
• Cleft soft palate
• High-arched palate
• Rahang yang sangat kecil dengan dagu kecil (mundur)
• Rahang yang jauh ke belakang di tenggorokan
• Infeksi telinga berulang
• Lubang kecil di langit-langit mulut yang menyebabkan tersedak
• Lidah yang besar dibandingkan dengan rahang

Jika ingin tahu lebih banyak tentang PRS, bisa bergabung di grup FB Sahabat Pierre Robin Sequence (PRS)





Minggu, 26 Juni 2016

Kelainan Langka Itu Bernama Pierre Robin Sequence

8 Februari 2014, Kirana lahir, suamiku bilang bahwa semua suster menyebut-nyebut pirobin, yang aku sendiri tak tahu apa itu pirobin, saat itu aku dan suamiku memilih nama indah baginya, sebuah nama yang mengandung doa, Kirana Aisha Putri Wibowo, kami berharap putri kami yang cantik dan bercahaya akan selalu sehat dan ceria.

Saat itu, aku belum bisa melihat wajah putriku, ya, dia segera dibawa pergi tanpa sempat aku memandang wajahnya, Kirana mengalami asfiksia, semua begitu cepat, setelah dia lahir, tim medis segera membawanya ke NICU, sementara aku masih berada di ruang VK, dan beberapa saat kemudian baru dipindahkan ke ruang perawatan, ruang rawat kelas 3 berkapasitas 4 pasien, namun saat itu aku hanya sendiri, belum ada pasien lainnya.

Akhirnya waktu menunjukkan jam 11, artinya aku bisa bertemu putriku, aku pun tak sabar menemuinya, aku pun segera menuju ruang NICU, dan untuk pertama kalinya aku bisa memandang wajahnya, namun ini bukan pemandangan yang biasa dan menyenangkan, putri kecilku tampak seperti putri tidur, dia mungil, tubuhnya dipenuhi kabel alat pantau, jarum infus, di mulutnya terdapat sebuah selang kecil, dan dia berada di dalam sebuah kotak kaca bernama inkubator.
Aku tak dapat memeluknya apalagi menggendongnya, aku hanya bisa memasukkan tanganku melalui 'jendela' kecil di sisi inkubator dan mengusap pelan kepalanya, memegang lembut tangannya, aku hanya bisa berkata dalam hati,"Anak cantik, yang kuat yah, cepat sehat agar kita bisa pulang ke rumah.", aku yakin dia akan merasakannya.

Ibu mana yang tak bersedih saat menyaksikan buah hatinya dalam keadaan seperti itu?
Demikian juga denganku, rasanya sesak dan ingin menangis, namun aku tahu aku harus tetao kuat dan tersenyum, Kirana butuh energi positif, dia butuh kekuatan.

Selama berada di NICU, aku tak bisa menemani Kirana selama 24jam, aku hanya diperkenankan menjenguknya sesuai jadwal yang ditentukan.
Saat bertemu dengan salah satu dari tim dokter, beliau mengatakan,"Anak ibu dagunya kecil, dia pirobin.", aku pun bingung, aku tak pernah mendengar istilah tersebut sebelumnya, hingga akhirnya aku mencoba mencari info dengan cara browsing, aku memakai kata kunci 'dagu kecil, pirobin', dan akhirnya muncul lah beberapa info mengenai Pierre Robin Syndrome atau Pierre Robin Sequence, akhirnya aku mengetahui bahwa kelainan langka itu bernama Pierre Robin Sequence/Syndrome (PRS), meski saat itu kupikir PRS bukanlah masalah besar, karena kala itu yang kubaca di sebuah situs lokal, dagu kecil pada PRS akan berkembang dan mencapai ukuran normal di usia sekitar 3-18 bulan,"OK, it's not a big deal, i can handle it. Nanti akan berkembang dan semuanya akan baik-baik saja.", aku sama sekali tak menyangka bahwa PRS akan membawaku pada perjalanan panjang, teka-teki rumit dalam mencari 'diagnosa besar' bagi Kirana si peri imutku yang langka.

Sabtu, 25 Juni 2016

Hamil dan Melahirkan Putri Langkaku

Kehamilan ke 2 ku memang terasa lebih rewel jika dibandingkan dengan kehamilan pertamaku dulu, aku merasakan sakit saat duduk, sakit di area vagina, dan harus berjalan dengan sangat lambat jika baru bangun dari duduk karena rasa sakit tersebut, sakit ini kurasakan sejak usia kandungan sekitar 2 bulan sampai saat aku melahirkan, aku juga akan merasa mudah pusing dan mual jika terlalu lama berdiri atau kepanasan, aku mudah mimisan, hal yang tidak kurasakan ketika kehamilan pertama.

Kehamilan ke 2 ini juga cukup unik, karena aku bisa merasakan gerakan halus di perutku, sebelum aku tahu aku hamil, padahal ketika kehamilan ini terdeteksi, dokter memperkirakan usia kehamilanku masih kurang dari 4 minggu, hingga aku meyakini bahwa anakku ini adalah anak yang kuat, selain itu saat pertama aku melakukan tes kehamilan, yang awalnya muncul hanya 1 strip hingga aku pikir aku tak hamil, namun beberapa saat kemudian muncul 1 strip lagi yang sangat samar, sehingga aku ragu dan kemudian mengulang tes beberapa hari kemudian, dan hasilnya memang 2 strip.

Kurasa kehamilanku kali ini tidak ada masalah yang berarti, kurasa keluhan yang muncul hanya keluhan yang muncul pada umumnya ibu hamil, dokter pun tidak memberikan rambu adanya kejanggalan pada kehamilanku ini.

Aku memang masih gonta-ganti DSOG, mencari yang bisa membuatku merasa nyaman dan aman, mencari yang komunikatif dan kooperatif, hingga akhirnya aku memutuskan 1 nama, DSOG yang praktek di 2 RS incaranku untuk melahirkan, dan beliau juga yang pertama kali mencurigai ada yang janggal dengan kehamilan ini.
"Koq kayaknya ukuran janin agak kecil yah?", hal ini disampaikan ketika pertama kali aku bertemu beliau, saat itu usia kandunganku kisaran 5 bulan, dan beliau menyarankan untuk makan es krim setiap 3 hari sekali.
Saat itu aku merasa heran, kenapa tiba-tiba dikatakan demikian, aku coba merunut history USG yang ada di buku kesehatanku, dan ternyata memang ada yang janggal, namun saat itu aku masih denial, aku mulai berpikir bahwa ada salah satu dokter yang salah saat melakukan USG, namun aku tetap melakukan saran dokter untuk makan es krim setiap 3 hari sekali, dan rutin ANC (Antenatal Care), kebetulan untuk beberapa kali paska bertemu dokter yang kupilih ini, aku kembali tidak bertemu beliau, aku ANC dengan dokter yang lain, dan kembali tidak ada yang menyampaikan adanya kejanggalan pada kandunganku, hingga akhirnya saat kandunganku berusia sekitar 8 bulan, aku baru bertemu kembali dengan dokterku, dan hari itu beliau mengatakan,"Bu, ini PJT, Pertumbuhan Janin Terhambat, bukan tidak berkembang, hanya saja pertumbuhan janin ibu melambat. Sebaiknya ibu melakukan fetomaternal, saya rujuk yah bu."
Aku mulai merasa khawatir namun rasa denial itu masih ada, aku berusaha untuk terus mengatakan,"Janinku baik-baik saja.", namun sayangnya aku tak sempat melakukan fetomaternal, saat itu sedang musim hujan, banjir di mana-mana, dan suamiku juga sibuk dengan dinasnya.

Hingga hari itu tiba, 5 Februari 2014, tiba-tiba saja suamiku memintaku untuk bersiap-siap ANC, padahal dia sedang dinas jaga, Tuhan memang telah mengatur segalanya sedemikian rupa, hari itu menjadi ANC terakhirku, karena dokter memastikan janinku mengalami PJT, ketuban pun hanya 6, dan menyarankan terminasi, setelah dilakukan pematangan paru selama 3 hari, namun karena diperkirakan bayiku akan membutuhkan NICU (Neonate's Intensive Care Unit), maka beliau merujuk kami ke RS dengan fasilitas NICU, namun sebelumnya terlebih dahulu dilakukan CTG untuk mengetahui aktivitas janin dan denyut jantungnya, jika hasil CTG baik, maka kami diperkenankan berangkat keesokan harinya, namun jika jelek maka hari itu juga kami harus segera berangkat ke RS yang dituju. Alhamdulillah hasil CTG baik, sehingga kami bisa berangkat keesokan harinya.
Malam itu aku, dan suamiku, bertemu iparku yang kebetulan adalah perawat, kami bertemu di sebuah restoran 24jam yang memiliki fasilitas arena bermain agar Kasih juga bisa bersenang-senang, kami membicarakan kemungkinan yang akan terjadi, dan memutuskan memilih sebuah RS di kawasan Jakarta Barat untuk mencari 2nd opinion, malam itu kami ngobrol hingga sekitar jam 00, rasanya aku tak ingin melakukan terminasi, aku masih denial, aku masih ingin bayiku lahir di waktu yang dia inginkan, bukan karena terminasi, semua penolakan tersebut membuatku baru bisa tidur sekitat jam 3 pagi, padahal jam 4 pagi aku sudah kembali terjaga.

6 Februari 2014, kami bergegas berangkat setelah subuh, menuju rumah mertuaku terlebih dahulu untuk menitipkan Kasih, untunglah aku sudah banyak mengkomunikasikan hal ini kepada Kasih, sejak tahu aku hamil, aku sering bilang ke Kasih,"Nanti kalau dedenya mau lahir, mba Kasih sama mbah dulu yah, dedenya harus lahir di RS, mba Kasih kalau ikut nanti malah bisa kena sakit, karena RS banyak kumannya.", itulah yang sering aku ucapkan, aku juga menunjukkan kepada Kasih sebuah video proses persalinan, sambil mengatakan hal yang serupa, sehingga hari itu tak terlalu sulit meninggalkan Kasih di rumah mbahnya, dan kemudian barulah kami menuju RS mengendarai motor.
Hasilnya sama saja, dokter menjelaskan,"Janin ibu mengalami PJT, kemungkinan sejak awal kehamilan karena kecilnya simetris, mungkin karena pembuluh pada tali pusat yang kecil sehingga sulit mengantarkan makanan bagi janin terutama ketika janin semakin besar, makanya pertumbuhannya melambat, aliran darah ke janin juga meningkat, sehingga memang harus terminasi.", bahkan dokter ini menyarankan langsung terminasi hari itu juga, tanpa perlu melakukan pematangan paru, karena kandungan sudah cukup bulan, namun beliau menyerahan keputusan pada kami, dan memberikan kami waktu untuk berpikir. Aku dan suami merundingkan hal ini, rasanya masih tak percaya, aku masih denial, masih berharap tak perlu melakukan terminasi, namun pikiran rasionalku mulai mendesak, hasil pemeriksaan memang menunjukkan indikasi untuk dilakukan terminasi, aku juga bertanya kepada beberapa teman lainnya yang juga memiliki kompetensi di bidang ini, dan semua sarannya sama, aku pun mulai menangis, rasanya berat sekali harus mengalahkan ego dan mengakui bahwa kehamilanku harus diterminasi, hingga akhirnya aku dan suami memutuskan untuk mencari 3rd opinion, kami pun mencoba pergi ke sebuah RS di kawasan Jakarta Selatan.
Pemeriksaan kembali dilakukan, dan hasilnya tetap sama, kehamilanku harus diterminasi, namun karena fasilitas NICU maupun perina di RS tersebut penuh, kami pun memutuskan untuk kembali ke RS di kawasan Jakarta Barat.

Waktu menunjukkan jam 3 dini hari, ketika aku berada di UGD, 7 Februari 2014, aku harus benar-benar mengalahkan egoku, kehamilanku harus diterminasi demi menyelamatkan jiwa anakku, rasanya sesak di dada, aku ingin menangis,"Maafkan mama nak, mama gak bisa memberikan 'rumah' yang nyaman di dalam sana, kamu harus segera dilahirkan, yang kuat yah sayang, kita sama-sama berjuang, bantu mama.", hanya itu yang bisa terus aku katakan di dalam hati, sambil mengusap perutku.
Beberapa saat kemudian aku dipindahkan ke ruang persalinan (VK), dan dikabari bahwa proses induksi akan dilakukan sekitar jam 6, aku sedikit lega karena itu artinya aku bisa tidur sejenak setelah semua perjalanan melelahkan yang telah aku lalui.
Sekitar jam 6.00 proses induksi dimulai, aktivitas janin terus dipantau dengan CTG secara berkala, gelombang cinta itu mulai datang, aku pun tersenyum,"Yang kuat yah nak, ayo bantu mama, buka jalan lahirmu, kita berjuang sama-sama.", aku terus berkata dalam hati, sambil mengusap perutku, aku percaya bahwa anakku akan mendengarkan aku.
Selama proses induksi, aku masih bisa melakukan aktivitas seperti biasa, aku bisa makan, minum, ngobrol, tidur, bercanda, jalan, dsb, semua dijalani dengan santai.
Sekitar jam 13, dilakukan pemeriksaan dan telah ada pembukaan 1 menuju 2, kemudian sekali lagi obat induksi pun diberikan, dan pemantauan CTG terus dilakukan secara berkala, sekitar jam 18 kembali dilakukan pemeriksaan, baru pembukaan 2,"Ayo anak kuat, anak pintar, bantu mama, buka jalan lahirmu."

Waktu terus berlalu, gelombang cinta yang kurasakan terasa semakin kuat, hingga aku mulai sulit beristirahat, namun masih bisa tidur sekitar 15menit, dan aku terbangun, aku merasakan gelombang yang cukup kuat, dan juga ada cairan yang mengalir di vagina, kupikir ketuban pecah, aku pun turun dan berjalan ke kamar mandi untuk memeriksa sekaligus buang air kecil, ternyata bukan ketuban melainkan lendir darah yang cukup banyak, aku kembali ke kasur, kulihat suamiku meringkuk di sisi kasur, dia pasti sangat lelah, aku kembali merebahkan tubuhku, miring, dan aku kembali merasakan gelombang yang sangat kuat hingga tubuhku bergerak gelisah, dan suamiku terbangun, menyadari kondisiku dia langsung mencari bantuan, kemudian segera dilakukan pemeriksaan, dan ternyata sudah pembukaan lengkap,"Ini dia saatnya, terima kasih sayang, anak kuat, sebentar lagi kita akan bertemu.", dokter pun datang memberikan aba-aba dan bantuan, tepat jam 1.35, setelah proses induksi selama sekitar 18,5 jam, tanggal 8 Februari 2014, bayiku lahir, dengan berat hanya 2037gr, panjang 43cm dan lingkar kepala 30cm, tak kudengar suara tangisnya, tak bisa kupandangi wajahnya, aku hanya bisa melihat tubuh mungilnya dikelilingi tenaga kesehatan, entah apa yang mereka lakukan, semua begitu cepat hingga bayiku dibawa pergi ke NICU, dia mengalami asfiksia.

Aku lega sekaligus cemas,"Ada apa dengan bayiku? Mengapa mereka tidak mengijinkan aku memandangnya meski sejenak?", hingga suamiku kembali dan berkata,"Bayinya perempuan, suster pada bilang pirobin, gak tahu apa itu.", sekali lagi aku keheranan, aku tidak pernah tahu apa itu pirobin, namun aku menyimpan keherananku itu untuk memilih nama bagi bayi mungil kami, dan kami pun sepakat memberinya nama Kirana Aisha Putri Wibowo, kami berharap putri kami yang cantik bercahaya, akan selalu sehat dan riang.
Aku tak sabar ingin melihat bayiku, tapi aku harus menunggu hingga jam besuk tiba karena dia berada di NICU, dan kami hanya diperkenankan menjenguknya sesuai waktu yang ditentukan.

Senin, 03 Agustus 2015

MEDIA PEMBERIAN ASI PERAH (ASIP)

Seringkali seorang ibu pergi meninggalkan bayinya untuk waktu tertentu dengan suatu alasan, seperti bekerja, sekolah, ada leperluan yang tidak bisa mengajak bayi untuk ikut serta, dan sebagainya.
[Mabes TATC - Mari Belajar Sama-sama, Tambah ASI Tambah Cinta]
2 Agustus 2015
Masih dalam rangkaian Pekan ASI Sedunia yang tahun ini mengambil tema 'Breastfeeding and Work, Let's Make It Work', kali ini yuk kita kupas media penyajian Air Susu Ibu Perah (ASIP). ASI adalah hak anak, tetapi bagaimana ketika ibu dan bayi harus terpisah jarak atau ada kondisi lain yang membuat bayi tak bisa menyusu langsung? Pemberian ASIP menjadi jawabannya.
Nah, untuk menyajikan ASIP yang telah disiapkan agar bisa diminum oleh bayi tentunya perlu sarana atau media. Beberapa media yang bisa dipilih adalah:
1. Cangkir kecil atau sloki. Tidak harus yang bermerk/dikhususkan untuk itu sebenarnya (yang biasanya disebut cup feeder), tetapi bisa juga manfaatkan yang sudah ada. Seorang teman kuliah saya memilih gelas beling biasa, sedangkan salah satu admin di sini menggunakan tutup botol dot.
2. Sendok. Jika ada, pilih yang bahannya empuk untuk mengurangi kemungkinan menyakiti gusi atau rongga mulut bayi. Praktis dan biasanya di setiap rumah ada, sehingga cocok juga untuk yang pemberian ASIP-nya hanya temporer atau mendadak.
3. Botol sendok, ada botol sendok yang sebetulnya ditujukan untuk penyajian MPASI dengan tekstur lebih kental ketimbang ASIP, sehingga beberapa sumber tidak menyarankan untuk ASIP yang akan mengalir lebih cepat dengan ukuran lubang seperti itu.
4. Ada pula semacam botol sendok yang memang fungsinya untuk kasih ASIP, biasanya disebut dengan soft cup feeder. Ujungnya tidak selalu mirip dengan sendok memang, tapi cara kerjanya lebih kurang sama dengan botol sendok yaitu bagian badan/botol penampung ASIP atau leher 'sendok'-nya dipencet agar cairan dalam badan/botolnya keluar.
5. Pipet tetes, bisa pakai yang sering disertakan dalam kemasan obat untuk bayi, atau beli di apotek.
6. Spuit suntikan tanpa jarum, ini juga bisa dicari di apotek. Berhubung saya tidak punya, di foto ini diwakili dengan medicine feeder yang cara kerjanya sistem piston untuk disemprotkan juga seperti suntikan.
7. Cangkir dengan corot dari bahan tidak kenyal (sippy cup/training cup dengan hard spout). Pastikan keterangan usia di kemasan sesuai dengan umur bayi saat cangkirnya akan dipakai, dan pilih yang ada katup antisedaknya.
8. Media khusus untuk kondisi tertentu seperti Haberman feeder yang diperuntukkan bagi bayi dengan bibir/langit-langit mulut yang berbeda. Terdapat pula alat bantu menyusui berupa selang kecil yang ditempelkan di payudara untuk mengalirkan ASIP saat proses relaktasi agar bayi kembali bisa menyusu langsung atau menyusu ke ibu adopsi misalnya.
Lalu, bagaimana dengan dot?









Dot adalah media penyajian untuk bayi yang tampaknya paling umum dipakai, entah itu isinya sufor, ASIP, air putih, sari buah, maupun minuman lainnya. Namun, pemakaian dot sejatinya tidak disarankan karena berbagai risiko yang ada. Jika dulu semasa saya menyusui anak pertama yang sering dikhawatirkan dan ditanyakan ibu-ibu lalu mendorong munculnya berbagai saran adalah 'bagaimana agar bayi tidak bingung puting?' dalam arti tips supaya bayi tetap mau menyusu langsung meskipun saat berjauhan dari ibu diberi dot, belakangan risiko lain mengemuka (atau sayanya saja yang kurang gaul ya sampai telat tahunya, hehehe). Jadi, ada yang diistilahkan sebagai bingung puting silent, kondisi di mana bayi tidak menolak menyusu pada payudara ibunya, tetapi produksi ASI ibu menurun. Ini dikarenakan dot merusak daya isap bayi, walhasil ASI yang terambil tidak maksimal dan 'pengosongan' payudara yang seharusnya mendorong ASI dibuat lagi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Belum lagi dampak lain terhadap kesehatan yang mengintai gara-gara pakai dot, antara lain infeksi telinga, masalah gigi, dan obesitas. Oh ya, cangkir bayi dengan corot kenyal/soft spout juga baiknya dihindari karena mekanismenya mirip dot. Berlaku juga untuk dot yang diklaim mirip payudara ibu, ya. Toh payudara tiap ibu (bahkan kanan-kiri pada orang yang sama) kan beda-beda ya bentuk dan ukurannya. Lagipula, irama isapan bayi yang di awal menyusu pendek-pendek cepat untuk nantinya diperlambat dan diperdalam juga tidak bisa diterapkan pada dot, termasuk dot yang dipromosikan jika dibalik isinya tidak tumpah.
Selanjutnya, bagaimana agar bayi lancar minum ASIP dengan media yang sudah dipilih? Beberapa tips di bawah ini bisa diterapkan:
1. Cari tahu dulu bagaimana cara penggunaan media yang dipilih dengan tepat. Misalnya untuk cangkir dan sendok, tempelkan ke mulut bayi agar bayi menjilat atau menyeruput sendiri, bukan ASIP-nya yang dituang ke mulut bayi. Sedangkan untuk pipet dan spuit, semprotkan ke dinding pipi bagian dalam, bukan ke kerongkongan. Posisi bayi tentu cenderung tegak, tidak boleh berbaring. Yang dikhawatirkan biasanya adalah potensi tersedak. Perlu ketelatenan dan kesabaran memang. Media penyajian ini juga bisa cocok-cocokan, oleh karenanya jika memungkinkan cobalah beberapa jenis media (yang aman), mana yang lebih nyaman bagi bayi maupun yang mengasuhnya.
2. Kalau perlu, cari video contohnya, misalnya di youtube agar bayangannya lebih jelas. Ajak orang yang nanti akan rutin menyajikan atau melatih minum ASIP-nya nonton bareng.
3. Kenapa harus nonton bareng? Karena yang (melatih) menyuapi ASIP idealnya bukan ibu. Apabila ada 'gentong' aslinya, bahkan sekadar tercium aromanya, bayi cenderung akan menolak ASIP. Jadi selama dilatih, ibu ngumpet dulu ya, kalau perlu keluar rumah. Seringkali perlu juga membangun bonding terlebih dahulu antara bayi dengan yang akan menyajikan ASIP-nya sehari-hari.
4. Sampaikan apa yang ibu inginkan terkait penyajian ASIP ini ke orang-orang di rumah/pengasuh (mungkin di tempat penitipan) sedini mungkin. Bisa dipahami bahwa ada kemungkinan penolakan, jadi sekali lagi sabar ya untuk menjelaskan baik-baik (atau galak-galak, hehehe, ibu yang lebih tahu karakter lawan bicara). Latih juga bayi minum ASIP sejak awal, bahkan jika belum dapat-dapat pengasuh. Setidaknya bayi sudah akrab dengan media tersebut sehingga kalaupun pengasuh baru didapat di saat-saat terakhir menjelang ibu masuk kerja (saya banget, ini!), adaptasinya tidak sulit.
5. Tawarkan ASIP ke bayi saat bayi belum lapar benar. Prinsipnya hampir sama dengan menawarkan menyusu langsung, jadi kalau bayi sudah telanjur nangis gara-gara tanda laparnya terlambat direspon, usahakan pengasuhnya tenang dulu agar bisa menenangkan bayi. Berikan ASIP setelah tangis bayi reda.
6. Sounding alias sampaikan ke bayi dengan kata-kata positif, misalnya "Anak pinter yuk kalau bunda pergi minum ASIP-nya pakai ini ya...". Usia semuda itu bukan berarti bayi bakal tak mengerti apa yang kita sampaikan.
7. Sekali lagi, sabar dan semangat. Jika ibu menemui kesulitan, tidak tidak ada salahnya minta tolong pihak yang kompeten seperti konselor laktasi untuk mengajari.
8. Doa, tentunya.

Sumber : copas tulisan mba Leila Rizki Niwanda di grup Tambah ASI Tambah Cinta
==============================================================================
Kirana minum menggunakan Haberman feeder

Haberman feeder
Kirana menggunakan OGT.
Ada tambahan media pemberian ASIP,tapi untuk anak yang mempunyai kesulitan menyusu karena kondisi medis dan atau pada ABK (sepertinya ada juga ibu dari anak-anak seperti ini yang tetap bekerja),seperti anak dengan CBL,PRS,DS,dsb (jika tidak memungkinkan menggunakan media yang sudah disebutkan di atas) :
- special needs feeder (kalau di Indonesia setahu saya ada merk Medela dan Pigeon saja,tapi di LN juga ada merk Mead Jhonson,dr.Brown.) → ini wujudnya tampak seperti dot,tapi saya pernah diinformasikan oleh salah seorang KL bahwa ini tidak termasuk golongan dot,melainkan feeder.
- OGT (Oral-Gastric Tube) → selang kecil (sonde) yang dimasukkan melalui mulut,jadi asupan langsung menuju ke lambung
- NGT (Naso-Gastric Tube) → selang kecil (sonde) yang dimasukkan melalui hidung,jadi asupan langsung menuju ke lambung
- Gtube (Gastric Tube) → selang kecil (sonde) yang dimasukkan langsung dari perut,jadi asupan langsung menuju ke lambung (yang ini saya belum tahu apa diterapkan juga di Indonesia atau tidak,tapi yang umum saya lihat yah OGT dan NGT)

Note : sonde hanya digunakan dalam kondisi yang cukup parah,anak tidak bisa menggunakan mulutnya untuk makan dan minum. Sonde juga punya resiko seperti resiko infeksi,resiko perlukaan,anak juga berkurang kesempatan belajar mengunyah,menelan,menghisap,menggunakan oromotornya,dsb. Cmiiw

Mengapa tidak dianjurkan memakai dot?
Karena dot menyimpan resiko, seperti bingung puting, over feeding, dsb.
Untuk selengkapnya silakan cek di sini