Tampilkan postingan dengan label PRS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PRS. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Februari 2017

STICKLER SYNDROME


Stickler Syndrome, kamu pasti belum pernah dengar jenis sindrom ini (sok tahu saja eike hahahahahahahaha).
Stickler itu adalah yang lengket dan bisa menempel di tembok, kertas, kulkas, dll.
Eeeeh....... Itu sih stickeeeerrr hahahahaha.

Just kidding koq.
Stickler Syndrome adalah salah satu jenis sindrom yang sering terasosiasi dengan Pierre Robin Sequence, bahkan stickler syndrome adalah yang paling sering terasosiasi dengan PRS, inilah sebabnya ketika aku tahu Kirana terdiagnosa PRS dan aku mulai mendapatkan informasi lebih banyak soal PRS, saat itu aku juga mulai mengenal stickler syndrome.
Dan kali ini, aku akan mencoba menuliskan sedikit informasi tentang stickler syndrome.

Stickler Syndrome adalah...........

Stickler syndrome is a group of hereditary conditions characterized by a distinctive facial appearance, eye abnormalities, hearing loss, and joint problems. (Sumber : GHR)
Sindrom Stickler adalah sekelompok kondisi turun-temurun yang ditandai dengan tampilan wajah yang khas, abnormalitas mata, gangguan pendengaran dan masalah pada persendian.

Stickler syndrome is a genetic disorder that can cause serious vision, hearing and joint problems. Also known as hereditary progressive arthro-ophthalmopathy, Stickler syndrome is usually diagnosed during infancy or childhood. (Sumber : Mayo Clinic)
Stickler syndrome adalah kelainan genetik yang bisa menyebabkan masalah  serius pada penglihatan, pendengaran, dan persendian.

Stickler syndrome refers to a group of disorders of connective tissue. (Sumber : NORD)
Stickler Syndrome merujuk pada sekelompok kelainan pada jaringan ikat.
Prevalensi Stickler Syndrome diperkirakan 1 : 7.500 - 9.000 kelahiran, dan tipe 1 adalah yang paling sering terjadi.

Ada 5 tipe Stickler Syndrome, yaitu :
  • Stickler syndrome type 1
  • Stickler syndrome type 2
  • Stickler syndrome type 3
  • Stickler syndrome type 4
  • Stickler syndrome type 5


Stickler syndrome type 1, diperkirakan sekitar 70% kasus yang dilaporkan adalah tipe 1, dan tampil dengan variasi gejala yang luas, mempengaruhi mata, tampilan wajah, langit mulut, dan sistem musculoskeletal. Muncul karena mutasi gen COL2A1 pada kromosom 12q13.11.


A characteristic feature of Stickler syndrome is a somewhat flattened facial appearance. This appearance results from underdeveloped bones in the middle of the face, including the cheekbones and the bridge of the nose. A particular group of physical features called Pierre Robin sequence is also common in people with Stickler syndrome. Pierre Robin sequence includes an opening in the roof of the mouth (a cleft palate), a tongue that is placed further back than normal (glossoptosis), and a small lower jaw (micrognathia). This combination of features can lead to feeding problems and difficulty breathing. (Sumber : GHR)
Karakter yang menjadi ciri khas dari Stickler Syndrome adalah tampilan wajah yang terlihat datar. Penampilan tersebut merupakan hasil dari kurang berkembangnya tulang di bagian tengah wajah, termasuk tulang pipi dan pangkal hidung. Ciri khas Pierre Robin Sequence juga sering tampak pada Stickler Syndrome.

Gejala Stickler Syndrome (Sumber : Mayo Clinic)

The signs and symptoms of Stickler syndrome — and the severity of those signs and symptoms — can vary widely from person to person.
Tanda dan gejala dari Stickler Syndrome (dan juga tingkat keparahannya) bisa sangat bervariasi

Eye problems. In addition to severe nearsightedness, children who have Stickler syndrome often experience cataracts, glaucoma and retinal detachments.
Masalah di mata. Rabun jauh berat (myopia), katarak, glaukoma, dan pelepasan retina.

Hearing difficulties. The extent of hearing loss varies among people who have Stickler syndrome. It usually affects the ability to hear high frequencies.
Kesulitan mendengar. Gangguan pendengaran bervariasi di antara penyintas stickler syndrome. Biasanya mempengaruhi kemampuan mendengar frekuensi tinggi.

Bone and joint abnormalities. Children who have Stickler syndrome often have overly flexible joints and are more likely to develop abnormal curvatures of the spine, such as scoliosis. Osteoarthritis can begin in adolescence.
Abnormalitas tulang dan sendi. Anak dengan stickler syndrome biasanya memiliki sendi yang terlalu lentur (fleksibel) dan lebih mungkin mengembangkan lengkungan abnormal pada tulang belakang, seperti skoliosis. Osteoarthritis bisa mulai muncul di usia remaja.

Regular follow-up visits, as well as yearly visits to doctors specializing in eye disorders, are crucial to monitor any progression of symptoms. Early treatment can help prevent life-altering complications. Hearing should be checked every six months in children through age 5 and then yearly thereafter.
Kunjungan rutin seperti kunjungan tahunan ke dokter spesialis mata sangat penting untuk memonitor setiap perkembangan dari gejala.
Penanganan dini dapat membantu mencegah life-altering complications
Pendengaran harus diperiksa setiap 6 bulan sekali hingga anak berusia 5 tahun dan diperiksa setahun sekali setelah usia 5 tahun.

Pola pewarisan

Untuk tipe 1-3 diwariskan dengan pola autosomal dominan, di mana 1 salinan gen saja sudah cukup untuk menyebabkan kelainan ini. Pada sebagian kasus kelainan ini diwariskan dari 1 saja orangtua yang terkena, dan pada kasus lainnya bisa juga merupakan mutasi baru.
Tipe 3-6 diwariskan dengan pola autosomal resesif, di mana kedua orangtua merupakan carrier.

Penanganan
Standar perawatan dan terapi yang diberikan disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang ada pada pasien.
Anak dengan Stickler Syndrome perlu dipantau oleh tim dokter.

Minggu, 01 Januari 2017

CLEFT PALATE

Pierre Robin Sequence (PRS), memiliki rangkaian defek atau dikenal sebagai trias PRS.
Anak yang terlahir dengan PRS juga akan mengalami kelainan pada langit mulut (palatum), yaitu langit mulut bercelah/terbelah/bolong (cleft palate), atau langit mulut letak tinggi (high-arched palate).

Sebelumnya aku sudah menyampaikan sedikit informasi soal micrognathia dan high-arched palate, maka kali ini aku akan menyampaikan sedikit informasi soal cleft palate (dan juga cleft lip atau yang umum kita kenal sebagai bibir sumbing).

Cleft palate tampil dengan bentuk huruf U dan V.
Jika anak PRS yang mengalami cleft palate, maka cleft palate akan tampil dengan bentuk huruf 'U' (U shape)

Berikut sedikit informasinya

-------------------------------
CELAH BIBIR DAN LANGIT-LANGIT

DEFINISI
Celah Bibir dan Celah Langit-langit adalah suatu kelainan bawaan yang terjadi pada bibir bagian atas serta langit-langit lunak dan langit-langit keras mulut. Celah bibir (Bibir sumbing) adalah suatu ketidaksempurnaan pada penyambungan bibir bagian atas, yang biasanya berlokasi tepat dibawah hidung. Celah langit-langit adalah suatu saluran abnormal yang melewati langit-langit mulut dan menuju ke saluran udara di hidung.

PENYEBAB
Celah bibir dan celah langit-langit bisa terjadi secara bersamaan maupun sendiri-sendiri. Kelainan ini juga bisa terjadi bersamaan dengan kelainan bawaan lainnya. Penyebabnya mungkin adalah mutasi genetik atau teratogen (zat yang dapat menyebabkan kelainan pada janin, contohnya virus atau bahan kimia). Selain tidak sedap dipandang, kelainan ini juga menyebabkan anak mengalami kesulitan ketika makan, gangguan perkembangan berbicara dan infeksi telinga. Faktor resiko untuk kelainan ini adalah riwayat celah bibir atau celah langit-langit pada keluarga serta adanya kelainan bawaan lainnya.

GEJALA
Gejalanya berupa: pemisahan bibir
pemisahan langit-langit pemisahan bibir dan langit-langit
distorsihidung
infeksi telinga berulang
berat badan tidak bertambah
regurgitasi nasal ketika menyusu (air susu keluar dari lubang hidung).

DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik di daerah wajah.

PENGOBATAN
Pengobatan melibatkan beberapa disiplin ilmu, yaitu bedah plastik,ortodontis, terapi wicara dan lainnya. Pembedahan untuk menutup celah bibir biasanya dilakukan pada saat anak berusia 3-6 bulan. Penutupan celah langit-langit biasanya ditunda sampai terjadi perubahan langit-langit yang biasanya berjalan seiring dengan pertumbuhan anak (maksimal sampai anak berumur 1 tahun). Sebelum pembedahan dilakukan, bisa dipasang alat tiruan pada langit-langit mulut untuk membantu pemberian makan/susu. Pengobatan mungkin berlangsung selama bertahun-tahun dan mungkin perlu dilakukan beberapa kali pembedahan (tergantung kepada luasnya kelainan), tetapi kebanyakan anak akan memiliki penampilan yang normal serta berbicara dan makan secara normal pula. Beberapa diantara mereka mungkin tetap memiliki gangguan berbicara.

Sumber : http://www.spesialis.info/?penyebab-celah-bibir-%28bibir-sumbing%29-celah-langit-langit%2C933 Diakses 14/10/2014
--------------------------------------

Kirana sendiri tidak mengalami cleft palate, tapi mengalami high-arched palate, namun kini kondisi palatumnya sudah normal (berdasarkan hasil MRI di November 2015), tanpa tindakan medis apapun (karena tidak bercelah).

MICROGNATHIA

Pierre Robin Sequence (PRS) memiliki trias, yaitu
• micrognathia dan atau retrognathia
• glossotopsis
• cleft palate atau high-arched palate

Penjelasan singkat tentang PRS bisa dibaca di sini.

Jadi ceritanya gini, saat anak masih berupa janin, di dalam kandungan ibu, rahang bawahnya (dagu) gagal bertumbuh sehingga ukuran dagunya pun menjadi sangat kecil (atau disebut micrognathia), dan atau juga mundur (retrognathia), lalu karena dagunya gagal tumbuh, sementara lidahnya terus bertumbuh, maka lidah yang semakin besar akan mendorong palatum (langit mulut), hal ini menyebabkan palatum menjadi tinggi (high-arched palate) atau bahkan bolong (cleft palate), dan lidahnya yang berukuran normal pun jadi 'jatuh' di saluran nafas (glossotopsis), menutup jalan nafasnya.
Demikianlah kira-kira alkisah seorang bayi akhirnya terlahir dengan Pierre Robin Sequence, karena serangkain kejadian di dalam rahim ibu, sehingga disebut sequence.

PRS bisa berdiri sendiri, hanya trias PRS, tanpa kondisi penyerta maupun penyulit lainnya, atau disebut PRS isolated.
Namun PRS bisa juga menjadi bagian dari sindrom lainnya, atau biasa disebut PRS non isolated.
Kirana sendiri mengalami PRS non isolated, dengan beragam kondisi penyerta lainnya.

Oke, sekarang aku akan coba bahas trias PRS secara terpisah, satu per satu, dimulai dengan defek utama PRS yaitu micrognathia, berikut informasinya.

------------------
MIKROGNATI (MICROGNATHIA)
Mikrognati (baca : mi-kro-ge-na-ti) adalah istilah yang menggambarkan sebuah rahang bawah normal yang kecil. Pada mikrognati, rahang yang cukup kecil dapat mengganggu saat makan. Bayi dengan mikrognati mungkin perlu puting khusus sebagai alat bantu. Mikrognati mungkin kelainan yang sering terjadi pada anak. Hal ini juga dapat disebabkan oleh kelainan bawaan dan sindrom tertentu.

Penyebabnya secara umum antara lain :
1.Pierre robin syndrome
2.Sindromhallerman-streiff
3.Trisomi 13
4.Trisomi 18
5.Turner syndrome
6.Progeria
7.Treacher collins syndrome
8.Smith lemli opitz syndrome
9.Russell silver syndrome
10.Sindrom Seckel
11.Sindrom Cri Du Chat
12.Sindrom Marfan

Manifestasi klinis pada mikrognati bisa dilihat dari pemeriksaan fisik. Ditemukannya bentuk serta ukuran rahang bawah yang lebih kecil dari ukuran normal. Pada bayi bisa didapatkan kesusahan dalam meminum sesuatu.

Mikrognati adalah salah satu penyebab abnormal aligment gigi. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan penutupan gigi karena sering kali tidak akan ada cukup ruang untuk tumbuh gigi. Mikrognati kadang tidak berdiri sendiri, misalnya pada sindrom pierre robin gejalanya mikrognati, hipoglossus, dan cleft palatum. Pada trisomi 18 gejalanya kelainan pada telinga, mikrognati, benjolan pada oksipital, panggul yang sempit, kaki rocker bottom. Pemeriksaan penunjang mungkin diperlukan seperti skull ray dan foto gigi.
Jika ada gejala lain yang mengindikasikan adanya faktor keturunan, dan sudah mengganggu pembedahan atau peralatan ortodontik mungkin dianjurkan.

PENYEBAB
Mikrognati bisa diwariskan secara genetik atau disebabkan oleh mutasi genetik. Pada sebagian kasus yg langka, penyebabnya masih belum diketahui.

SIMPTOM
Anak dengan mikrognati seringkali menunjukkan tanda gagal tumbuh (failure to thrive), suatu kondisi yg digambarkan dengan grafik pertumbuhan (growth chart) yg kurvanya memotong 2 garis.
Simptom mikrognati bisa bervariasi pada setiap anak,tapi bisa meliputi :
• apnea (henti nafas sementara saat tidur).
• kesulitan makan/minum.
• pemberian makan/minum yg membutuhkan waktu lama).
• nafas yg berisik (stridor).
• sulit tidur.
• kenaikan berat badan yg lambat atau sangat lambat.
• dalam beberapa kasus yg jarang, anak akan menjadi biru saat makan/minum atau saat tidur sbg akibat dr kesulitan bernafas.

PENANGANAN MIKROGNATI
Sebagian besar anak dg mikrognati tidak membutuhkan tindakan operasi. Penanganan mikrognati tanpa operasi meliputi :
• posisi tidur yg tepat yaitu tengkurap agar lidahnya tidak menutup jalan nafas
• Nasopharyngeal airways — berupa tuba fleksibel dg corong di ujungnya, dan bisa dimasukkan ke dalam saluran pernafasan untuk membuka jalan nafas. Jika cara sederhana ini tidak membantu,maka mungkin diperlukan tindakan operasi. Tindakan operasi meliputi :
• tongue-lip adhesion procedure.
• mandibular distraction osteogenesis (MDO).
• tracheostomy..

Sumber :
https://doktermaya.wordpress.com/2011/11/04/mikrognatia/?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C6368539257 • http://www.chop.edu/service/plastic-and-reconstructive-surgery/conditions-we-treat/craniofacial-conditions/micrognathia.html

Semua sumber diakses tanggal 28/9/2014
-----------------------

Kirana sendiri tidak melakukan tindakan apapun terkait micrognathia-nya, cukup dengan wait and see, memperhatikan posisi tidur terutama di awal kehidupannya, dan kini dagunya pun catch up sendiri, terlihat dari hasil MRI di November 2015, bahwa dagunya dinyatakan normal.

Mengenai defek lainnya, akan coba dibahas di artikel selanjutnya yaah.

Minggu, 25 Desember 2016

MENGENAL PIERRE ROBIN SEQUENCE (PRS)




Kirana Aisha Putri Wibowo, putri ke 2 kami, lahir 8 Februari 2014.
Beberapa saat setelah Kirana terlahir, suamiku berkata,"Suster pada bilang kalau dagunya kecil, pirobin atau apa gitu, aku juga gak dengar jelas.", itulah kali pertama aku mendengar kata 'pirobin', tanpa tahu apakah itu pirobin.

Pelan-pelan aku mencari informasi, mencoba memahami apa itu pirobin, hingga aku tahu bahwa yang dimaksud adalah Pierre Robin Sequence (PRS), ada juga yang menyebutnya sebagai sindrom, bagiku apapun istilahnya tak menjadi masalah, yang penting penanganan bisa diberikan dengan tepat.

Dulu aku hanya menemukan sedikit informasi seputar PRS, dan hanya ada 1 artikel dalam bahasa Indonesia, dari sebuah situs.
Namun akhirnya aku menemukan PRS Foundation, sebuah NPO yang berpusat di Cape Town, hingga berkenalan dengan founder-nya, dan dari PRS Foundation lah akhirnya aku mendapatkan beberapa informasi mengenai PRS, berikut adalah salah 1 informasi singkat tentang PRS.

APAKAH PIERRE ROBIN SEQUENCE (PRS)?
PRS adalah suatu kondisi yang akan terlihat saat lahir,di mana bayi memiliki ukuran rahang bawah yang lebih kecil daripada ukuran normal atau lebih mundur dibandingkan dengan rahang atas, lidah yang jatuh di dalam tenggorokan dan menutup jalan nafas sehingga menyebabkan kesulitan bernafas. Sebagian besar bayi, namun tidak semua, juga akan memiliki langit-langit mulut yang tidak menutup sempurna (celah langitan/cleft palate), yang umumnya membentuk huruf U.

APA PENYEBABNYA?
Penyebab dasarnya adalah kegagalan perkembangan rahang bawah dengan normal sebelum lahir. Sekitar minggu ke 7-10 kehamilan, rahang bawah akan berkembang pesat, memungkinkan lidah terposisi dengan tepat di rongga mulut. Jika karena alasan tertentu, rahang bawah tidak berkembang dengan baik, lidah dapat menghambat penutupan langit-langit mulut, mengakibatkan celah langitan. Rahang bawah yang kecil atau terposisi tidak tepat juga menyebabkan lidah terposisi di belakang mulut, mungkin menyebabkan kesulitan bernafas saat lahir. Serangkaian kejadian ini yang menjadi alasan mengapa kondisi ini diklasifikasikan sebagai rangkaian deformasi. Pada beberapa pasien, karakteristik fisik ini bisa merupakan ciri dari sindrom lain atau kondisi kromosom. Yang paling umum adalah Stickler Syndrome.

SEBERAPA SERING PRS TERJADI?
PRS agak jarang terjadi dan diklasifikasikan sebagai penyakit langka. Sebuah studi prospektif Jerman melaporkan kejadian 12,4 per 100.000 kelahiran hidup. Sebaliknya, celah bibir dan/atau langitan terjadi 1 setiap 700 kelahiran hidup

PROGNOSA
Anak-anak yang terkena PRS biasanya mencapai perkembangan dan ukuran penuh. Namun, telah ditemukan dalam skala internasional bahwa anak-anak ini seringkali berukuran sedikit di bawah ukuran rata-rata, memperhatikan perkembangan yang tidak lengkap karena hipoksia kronis terkait dengan obstruksi jalan nafas serta kekurangan nutrisi karena kesulitan makan di awal atau gangguan perkembangan oral. Namun, prognosa umum cukup baik jika kesulitan makan dan bernafas teratasi saat bayi. Sebagian besar bayi PRS tumbuh menjadi dewasa yang sehat dan hidup normal.

GEJALA
• Cleft soft palate
• High-arched palate
• Rahang yang sangat kecil dengan dagu kecil (mundur)
• Rahang yang jauh ke belakang di tenggorokan
• Infeksi telinga berulang
• Lubang kecil di langit-langit mulut yang menyebabkan tersedak
• Lidah yang besar dibandingkan dengan rahang

Jika ingin tahu lebih banyak tentang PRS, bisa bergabung di grup FB Sahabat Pierre Robin Sequence (PRS)





Kamis, 10 November 2016

Menyusui Kirana : Tantangan Langka Part 2

Baca juga : Menyusui Kirana : Tantangan Langka part 1


7 Maret 2014 akhirnya aku bisa membawa Kirana pulang ke rumah, lega rasanya, meski saat itu Kirana masih memakai OGT dan aku masih belum paham betul soal menyusui bayi PRS, aku masih berharap bisa menyusui dia secara langsung, aku pun mencari info, bertanya kepada beberapa teman yang adalah konselor laktasi, hingga aku mengetahui bahwa dalam literatur dikatakan bahwa hampir mustahil menyusui anak PRS karena ada resiko tertutup jalan nafas, sehingga fokus utamanya bukanlah agar Kirana bisa menyusu langsung namun bagaimana agar Kirana bisa terus mendapatkan ASI, hingga aku harus rela memutuskan untuk memilih exclusive pumping atau disingkat EPing.
Aku memang masih terus berusaha untuk melatih Kirana menyusu langsung, hingga aku mendapatkan saran untuk mencoba posisi dancer hand, posisi tersebut cukup membantu, aku mengkombinasikan dengan posisi cross-cradle hand, namun mengingat resiko besar yang mengintai ditambah dengan laju pertumbuhannya yang lambat, aku tetap memilih EPing, dan sesekali melatih Kirana menyusu, meski sangat jarang, namun aku berharap Kirana mampu mengingat bagaimana caranya menyusu, aku masih berharap Kirana bisa menyusu langsung di usia 1 tahun, ketika kebutuhannya terhadap ASI juga sudah tinggal sekitar 30% karena makanan lah yang utama dalam memenuhi kebutuhan nutrisi dan kalorinya, aku masih berharap Kirana bisa mendapatkan manfaat lebih dari proses menyusu.
EPing bukanlah hal mudah bagiku, aku harus patuh terhadap jadwal perah setiap 2-3 jam sekali, selama 24 jam, setiap hari, durasi sesi perah selama 30-60 menit per sesi, padahal aku juga harus menyuapi Kirana, mengurus Kasih, masak, dan hal lainnya tanpa asisten rumah tangga yang menetap. Kirana dijadwalkan minum setiap 3 jam sekali atau 8 sesi minum dalam 24 jam. Kadang aku tertidur saat sesi perah, saking lelahnya diriku, untunglah aku menggunakan breastpump elektrik.
Kebutuhan ASIP Kirana kuhitung sesuai berat badannya, berdasarkan informasi yang kudapatkan dari konselor laktasi, yaitu 150 ml per kg bb untuk 24 jam.
Meski Kirana menggunakan OGT, aku tetap melatihnya minum per oral (menggunakan mulutnya), sedikit saja, hanya sekitar 5-10 ml, diberikan menggunakan cup feeder dengan sangat perlahan dan hati-hati, sambil terus memperhatikan reaksi Kirana, jika dia membiru (cyanosis), maka harus segera dihentikan, dan dilanjutkan dengan pemberian melalui OGT.
Seminggu lamanya aku menyuapi dengan cara ini, Kirana masih terus mengalami cyanosis sehingga OGT masih menempel manis di mulutnya, namun durasi pemberian minum masih terasa ringan, tidak terlalu lama. Aku selalu berkata,"Ayo Kirana, minum pakai mulut yah, biar sondenya bisa dibuang saja.".
Saat tiba waktunya OGT harus diganti, aku minta tolong suster agar mengijinkanku mencoba menyusui Kirana, kupikir dia tak bisa menyusu karena ada OGT di mulutnya sehingga perlekatan pun jadi kurang baik.
Suster memberikan ijin dan aku pun mencoba menyusui Kirana, namun kurasakan memang Kirana kesulitan melakukan perlekatan karena dagunya yang mundur, dan lidahnya yang seperti tidak bisa 'mengunci' saat perlekatan, hingga akhirnya aku pun memutuskan untuk kembali memasangkan OGT yang baru, karena dia tak bisa menyusu langsung dan juga masih mengalami cyanosis.
Malam itu aku ketiduran saking lelahnya, aku memang kurang tidur, karena harus perah ASI setiap 3 jam sekali, dan melakukan kegiatan lainnya, betapa terkejutnya aku saat terbangun dan menemukan OGT Kirana terlepas!
Aku segera menghubungi 3 RS yang tidak jauh dari rumah, UGD-nya, namun 2 diantaranya, menyatakan tidak bisa menggantikan OGT pada bayi.
Aku bersiap berangkat, namun entah mengapa, aku ingin mencoba menyuapi Kirana per oral, daaaaaaan ternyata kali itu, Kirana tak lagi cyanosis, aku pun membatalkan niat berangkat untuk memasang kembali OGT-nya, dan mencoba terus menyuapi Kirana dengan cup feeder hingga ASIP jatah 2 sesi bisa habis, maka sejak itu Kirana tidak pernah lagi menggunakan OGT maupun NGT untuk menerima asupan, karena kupikir Kirana bisa bisa menggunakan mulutnya untuk minum dan makan, apalagi di usianya sekitar 7,5 bulan, Kirana melakukan tes FEES untuk mengevaluasi kemampuannya menelan, dan hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan menelan Kirana adekuat dan tidak terjadi aspirasi.
Aku tetap menyuapi Kirana pakai cup feeder maupun pipet, sesuai jadwal sebelumnya yaitu setiap 3 jam sekali, yang berbeda adalah durasi pemberian ASIP, jika selama pakai OGT durasinya tidak terlalu lama, hanya sekitar 10-15 menit, itu pun karena aku masih menyuapi dengan cup feeder sekitar 5-10 ml, setelah Kirana tak lagi memakai OGT, durasi pemberian ASIP menjadi lama, rata-rata sekitar 1-2 jam, karena pemberiannya harus perlahan dan hati-hati, Kirana sering tersedak, dan aku harus jeli memperhatikan apakah dia menjadi cyanosis lagi atau tidak, aku juga menepuk pelan dadanya seperti yang diajarkan suster saat Kirana masih di perina.

Rasanya lelah sekali, aku masih harus perah ASI sesuai jadwal dengan durasi 30-60 menit per sesi perah, masih harus masak, mengurus Kasih, dll, hingga aku hampir tak punya waktu tidur atau sekedar beristirahat, bahkan otakku seperti sedang balapan liar, rasanya tak ada waktu untuk berhenti berpikir,"Mau apa dulu? Perah? Nyuapi Kirana? Masak? Atau tidur?", biasanya aku memilih untuk tidak beristirahat karena tak ada orang lain yang akan membantuku, jika aku istirahat maka jadwal lainnya bisa terbengkalai.
Aku merasa nyaris kehilangan akal sehat, semuanya terasa ngebut dan harus didahulukan, itu pun masih ditambah dengan rencana-rencana ke RS. Kondisi Kirana yang tak menyenangkan, nafasnya sesak, ada retraksi di leher, suara nafasnya grok-grok (stridor) sepanjang hari, terkadang juga terdengar suara ngik, dan kondisi tersebut tampak memburuk saat Kirana aktif, sehingga dia tampak semakin sesak namun wajahnya happy, semua itu karena Kirana juga mengalami laryngomalacia.
Aku mungkin hanya bisa tidur sekitar 1-3 jam per hari, itupun tidak dalam 1 sesi tidur nyenyak, tidak, tidurku tak pernah nyenyak, mataku terpejam, tapi rasanya otakku masih terus beripikir,"Berikutnya apa?", bahkan saat sakit pun aku tetap harus melakukan semua itu.
Kirana semakin besar, aku merasa aneh karena dia tak merespon mainan berwarna cerah, tak merespon suara-suara pelan, namun suamiku selalu berusaha menenangkan aku dengan berkata,"Jangan disamain dengan yang lain, Kirana lahir saja kecil. Udah deh, gak apa-apa.".
Suatu hari, seorang teman mampir dan mengatakan bahwa gerakan Kirana terlihat kaku, dan menyarankan agar aku memeriksakan Kirana ke dokter tumbuh kembang atau dokter syaraf khusus anak.
Di usia Kirana sekitar 4 bulan, aku baru sempat membawanya ke dokter, dan Kirana terdiagnosa microcephaly, lingkar kepalanya berukuran jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan jenis kelamin dan usia yang sama, hal ini membuat kami harus melanjutkan perjalanan medis bagi Kirana.
Di usia Kirana sekitar 5 bulan, aku bertemu dengan seorang DSA yang kemudian mendiagnosa Kirana dengan gagal tumbuh, sebenarnya sih bukan hal yang mengejutkan bagiku karena aku sudah menduganya, namun tetap saja rasanya sedih dan down mengingat bahwa usahaku untuk mempertahankan pemberian ASI bagi Kirana sangat tak mudah, namun diagnosa ini tetap harus kuterima.
Ya Kirana memang mengalami gagal tumbuh, namun aku tetap tak menyerah, aku terus mengusahakan pemberian ASI baginya, semaksimal aku mampu. Aku tahu Kirana microcephaly, ini artinya dia butuh nutrisi terbaik bagi otaknya, dan aku yakin bahwa ASI-lah nutrisi terbaik bagi otak.
Seorang teman menawarkan haberman feeder (HBF), botol yang memang dirancang khusus bagi bayi yang terlahir dengan bibir sumbing, celah langit mulut, PRS, Down Syndrome, dan beberapa kondisi istimewa lainnya, botol ini harganya terbilang mahal bagiku, namun temanku membelikannya bagi Kirana, dan aku menggunakannya setelah diskusi dengan beberapa konselor laktasi yang kukenal.
Haberman feeder 

Awal menggunakan HBF, aku harus belajar dulu, karena penggunaannya berbeda dengan botol biasa, aku harus memindahkan ASIP dari botol ke teat dengan cara memencet 'leher' teat-nya, membalikkan botol dan melepas pencetan di 'leher' teat-nya, ASIP akan berpindah. Kirana pun tampak kesulitan, teat-nya memang masih keras, sehingga aku pun membantunya dengan memencet bagian 'leher' teat-nya, tepat di garis paling panjang agar ASIP yang dikeluarkan lebih banyak, awalnya dia tampak tak suka menggunakan HBF, namun setelah beberapa kali pakai teat mulai lembut, Kirana mulai lebih mudah menghisap, dan akhirnya dia bisa minum menggunakan HBF, ini cukup membantuku mengefisienkan waktu. kadang saking lelahnya, aku menyuapi Kirana sambil tertidur, sering aku menyuapi Kirana sambil perah, kadang Kasih yang menyuapi Kirana (Kasih memang sering membantu menyuapi Kirana sejak masih menggunakan pipet).
Di usia Kirana sekitar 8 bulan, aku menerima hibahan breastpump dengan sistem double pump, aku menerimanya dari seorang ibu dari komunitas EPing di luar negeri, dan ini membantuku semakin mengefisienkan waktu, yang awalnya butuh 30-60 menit untuk 1 sesi perah, sejak menerima breastpump tersebut, aku hanya butuh 15-30 menit untuk 1 sesi perah.
Waktu yang lebih luang, memungkinkan aku untuk lebih santai memasak, meneman Kasih, atau bahkan tidur sejenak, kelelahanku sedikit berkurang, rasanya kewarasanku juga sedikit kembali hehehehehe.
Kirana semakin besar, di usianya sekitar 11 bulan atau menjelang usia 1 tahun, Kirana mulai menunjukkan keinginannya untuk menyusu langsung. Saat Kirana ingin menyusu, dia akan buang muka jika disodori HBF, dan tampak semangat saat aku menyodorkan payudara. Yes, dia mulai mau menyusu langsung, meski dengan posisi yang sedikit ajaib.
Aku mulai lebih intens menyusui Kirana, sambil terus mengevaluasi proses menyusuinya, aku tahu bahwa kemungkinan Kirana menyusu lebih demi kenyamanan, tapi aku meyakini bahwa Kirana tetap akan mendapat manfaat pentingnya yaitu manfaat psikologis (bonding), stimulasi oromotorik dan stimulasi pertumbuhan rahang.
Betapa aku merasa bahagia, hal yang aku tunggu, yang kupikir hampir mustahil bisa dilakukan Kirana yang PRS, ternyata bisa dilakukan, Kirana menyusu langsung ke payudaraku, dia bisa dan mau, meski mungkin lebih demi kenyamanan, namun dia bisa.
Di usia Kirana sekitar 15 bulan, aku berhenti perah ASI dan full menyusui Kirana secara langsung, toh di usia Kirana yang sudah lebih dari 15 bulan, dia hanya butuh sekitar 30% ASI untuk memenuhi kebutuhannya, sementara 70% didapat dari makan padat gizi seimbang.
Aku bertekad untuk terus menyusuinya, tanpa menyapih Kirana, hingga Kirana yang berhenti sendiri, natural weaning saja, mengingat usaha mempertahankan pemberian ASI bagi Kirana bukanlah hal mudah.
Kini usia Kirana sudah 2 tahun 9 bulan, dia sudah berhenti menyusu, dia telah menyapihku di usianya sekitar 2 tahun 8 bulan.
Kirana, anak yang terlahir dengan PRS non isolated, yang dikatakan hampir mustahil bisa menyusu langsung, namun dia buktikan bahwa dia bisa.
12 November 2016

Jumat, 12 Agustus 2016

Menyusui Kirana : Tantangan Langka part 1

Dalam rangka ikut meramaikan Pekan ASI Sedunia, maka saya akan menceritakan kisah menyusui dengan tantangan langka, dan inilah bagian pertama, memberikan ASI bagi Kirana selama dirawat di Rumah Sakit.
Setelah berhasil menyusui Kasih hingga sekitar usia 2 tahun 8 bulan dengan beberapa tantangan umum seperti flat nipple, inverted nipple, ngantor, pas-pasan supplier, aku merasa percaya diri, bahwa menyusui anak ke 2 akan lebih mulus, IMD akan dilakukan dengan baik.
Aku pun mulai melakukan 'belanja' faskes dan nakes, hingga sepakat untuk melakukan delayed cord clamping (DCC), IMD (Inisiasi Menyusu Dini), dan rooming in, namun apa daya, ternyata perkiraanku salah total.
Kirana terdiagnosa PJT (Pertumbuhan Janin Terhambat) menjelang akhir masa kehamilanku, dan akhirnya kehamilanku pun diterminasi saat gestasi 37-38 minggu, Kirana lahir tanggal 8 Februari 2014, tak menangis, maka buyarlah harapanku untuk melakukan DCC dan IMD, karena Kirana segera dibawa ke NICU, saat itu aku masih belum membayangkan bahwa aku akan menghadapi tantangan menyusui dari sebuah kelainan langka.
Awalnya aku hanya mendengar pirobin, tanpa aku tahu tantangan apa yang akan kuhadapi, hingga akhirnya aku mengenal Pierre Robin Sequence (PRS), tapi aku masih belum tahu bahwa PRS akan membuat usahaku menyusui Kirana menjadi sebuah pengalaman luar biasa.
Pierre Robin Sequence adalah suatu kelainan langka dengan angka kejadian sekitar 1:8500, ditandai dengan dagu yang sangat kecil (micrognathia) dan atau lebih mundur (retrognathia), lidah yang 'jatuh' dan menutup jalan nafas (glossotopsis), serta langit mulut yang bercelah (cleft palate) atau tinggi (high-arched palate), hal ini membuat Kirana beresiko tertutup jalan nafasnya, apalagi dia juga mengalami laryngomalacia.
Setelah terlahir, dia segera dibawa ke NICU karena asfiksia, aku berusaha mengusir rasa gundah di hatiku, ibu mana yang bisa 100% tenang saat mengetahui anaknya berada di ruang ICU? Aku ingin segera memerah ASI ku agar produksi ASI terstimulasi sekaligus mengalihkan pikiranku, namun aku belum menyiapkan apapun, belum ada botol, apalagi breastpump, sementara tanganku yang memang mudah sekali ngilu akibat sering kena tendang saat dulu aku masih menjadi atlet, membuatku agak kesulitan jika harus memerah pakai tangan atau marmet, akhirnya aku menunggu sampai ada suster yang datang ke ruangan.
Siang itu, seorang suster datang, aku menanyakan cara agar aku bisa meminjam botol dan juga breastpump, suster pun bertanya,"ASI-nya sudah keluar bu?", sambil memeriksa payudaraku, lalu kembali berkata,"Ini sih belum ada isinya bu, dipijit saja dulu yaah.", namun karena aku tetap bertanya, maka suster memberikan info bahwa aku bisa meminjam botol di ruang NICU, maka saat jam jenguk sore, aku pun meminjam beberapa botol dari ruang NICU, dan segera di malam harinya aku mencoba memerah ASI, perah pakai tangan atau tehnik marmet, dan ternyata payudaraku yang sempat dibilang masih 'kosong', bisa menghasilkan 10ml kolostrum, cairan emas yang memiliki manfaat luar biasa.
Saat itu Kirana masih dipuasakan, saat aku perah pun hari sudah malam, kalau tidak salah, sudah sekitar jam 23.00, sehingga ASIP aku simpan di kulkas yang berada di nurse station ruang rawatku, sejak malam itu aku mulai rutin perah setiap 2-3jam sekali, toh aku tak ada kesibukan lain, sehingga perah ASI bisa mengisi waktu kosongku, dan hasilnya pun aku kumpulkan untuk Kirana.
Keesokan harinya sekitar jam 12, dengan sumringah aku menuju ruang NICU, aku membawa beberapa botol ASIP yang masih tampak sangat kuning, untuk Kirana, aku menyerahkan kepada suster yang merawat, suster pun berkata,"Bayinya sudah boleh minum ma, ini untuk nanti sesi jam 15.", aku terkejut, mengapa disimpan untuk jam 15, padahal Kirana sudah boleh minum? Rupanya seorang suster yang merawat Kirana, telah memberikan susu formula, tanpa seijinku ataupun suamiku, padahal aku masih berada di ruang perawatan yang hanya berbeda lantai dengan ruang NICU, aku pun marah, karena memberikan susu formula tanpa ijin itu menyalahi aturan, namun suster berkelit, bahwa dokter telah menginstruksikan Kirana boleh minum baik ASI ataupun susu formula.
Jujur, saat itu aku sangat kesal, padahal ASIP sudah siap sejak malamnya, tapi aku kecolongan, Kirana diberikan susu formula tanpa ijin, sebanyak 2cc. Rasanya ingin memproses kejadian tersebut, namun suamiku mengingatkan aku untuk tidak terlalu keras karena Kirana masih dirawat di sana, sehingga aku pun menahan diri, lagipula jujur, aku pun saat itu tidak tahu harus mengadu ke mana. Aku menegur suster yang melakukan hal tersebut, dan meminta agar hal tersebut jangan sampai terulang.
Seminggu aku berada di ruang perawatan, semua masih terasa 'mudah', makan minum selalu terjamin, aku tak punya kegiatan lain selain perah ASI sambil menunggu waktu untuk menjenguk Kirana di NICU, sehingga perah rutin setiap 2-3jam sekali juga relatif mudah dilakukan, aku bisa jelas melihat perubahan warna ASI sejak hari pertama kelahiran, mulai dari berwarna sangat kuning hingga akhirnya menjadi putih gading seperti warna susu pada umumnya, demikian juga kuantitas hasil perahku, mulai dari 10ml hingga menjadi 100ml bahkan lebih, dan semua itu lebih dari cukup untuk asupan Kirana, aku bahkan membuat kulkas penuh sampai beberapa suster bertanya bagaimana caranya aku bisa mengumpulkan ASIP sebanyak itu, padahal aku ini bukan tipe over supplier, aku justru tipe pas-pasan supplier heheehheehee. Namun komitmen dan disiplin perah membuat ASIP-ku tampak banyak.
Akhirnya tiba saat aku tak bisa lagi tinggal di ruang perawatan paska persalinan di RS, aku harus pulang, sementara Kirana masih harus berada di RS. Saat itu tentunya aku masih dalam masa nifas, aku menumpang di rumah mertuaku agar jarak ke RS sedikit lebih dekat jika dibandingkan dari rumahku sendiri, namun setiap 3-4 hari sekali aku pulang ke rumahku sendiri, dan 'libur' mengunjungi Kirana. Jadwal perahku mulai sedikit terganggu namun masih cukup rutin, setiap hari aku bolak-balik ke RS, namun bukan untuk setor ASIP, karena stok ASIP Kirana sangat cukup yang aku tinggalkan di kulkas RS, aku membawa stok ASIP hanya jika stok di RS sudah menipis, aku setiap hari menempuh jarak sekitar 24 km, menggunakan angkutan umum demi mengunjungi Kirana meski hanya bisa menjenguk sesuai jadwal, tidak bisa menemani sepanjang hari, dan jika aku 'libur' untuk kembali ke rumahku dan meluangkan waktu bersama Kasih, aku akan sampaikan hal ini kepada Kirana, aku yakin dia memahami pesanku, dan ayahnya juga akan datang menjenguk dia.
Hari terus berlalu, Kirana masih terus menggunakan OGT untuk minum, dia akan membiru (cyanosis) jika minum melalui mulutnya, namun sebagian perawat di RS terus berusaha melatih dia minum per oral, meski ada sebagian yang tidak berani melakukannya. Ada senam wajah yang juga dilakukan untuk merangsang reflek menghisap, menelan, aku pun diajari untuk melakukan terapi ini.
Aku dilatih untuk memberikan minum melalui OGT, sebagai persiapan membawa pulang Kirana, hingga akhirnya Kirana diijinkan pulang tepat 1 bulan kurang 1 hari Kirana dirawat, aku membawa Kirana pulang, dengan OGT yang masih menempel manis di mulutnya, dengan tubuhnya yang tampak mungil dalam pelukanku, beratnya saat pulang adalah 2,6kg, sementara tubuhku besar, sehingga orang seringkali berkata,"Anaknya umur berapa? Kecil yah, padahal ibunya besar.", tapi tak mengapa, Kirana ku memang mungil, dia seperti peri imut yang cantik, aku senang bisa memeluknya dan membawanya pulang setelah hampir 1 bulan aku harus bolak-balik ke RS, meski aku tak tahu tantanganku masih panjang membentang, demikian juga tantangan menyusuiku, sebuah tantangan langka, yang akan kulanjutkan kisahnya nanti.

Minggu, 26 Juni 2016

Kelainan Langka Itu Bernama Pierre Robin Sequence

8 Februari 2014, Kirana lahir, suamiku bilang bahwa semua suster menyebut-nyebut pirobin, yang aku sendiri tak tahu apa itu pirobin, saat itu aku dan suamiku memilih nama indah baginya, sebuah nama yang mengandung doa, Kirana Aisha Putri Wibowo, kami berharap putri kami yang cantik dan bercahaya akan selalu sehat dan ceria.

Saat itu, aku belum bisa melihat wajah putriku, ya, dia segera dibawa pergi tanpa sempat aku memandang wajahnya, Kirana mengalami asfiksia, semua begitu cepat, setelah dia lahir, tim medis segera membawanya ke NICU, sementara aku masih berada di ruang VK, dan beberapa saat kemudian baru dipindahkan ke ruang perawatan, ruang rawat kelas 3 berkapasitas 4 pasien, namun saat itu aku hanya sendiri, belum ada pasien lainnya.

Akhirnya waktu menunjukkan jam 11, artinya aku bisa bertemu putriku, aku pun tak sabar menemuinya, aku pun segera menuju ruang NICU, dan untuk pertama kalinya aku bisa memandang wajahnya, namun ini bukan pemandangan yang biasa dan menyenangkan, putri kecilku tampak seperti putri tidur, dia mungil, tubuhnya dipenuhi kabel alat pantau, jarum infus, di mulutnya terdapat sebuah selang kecil, dan dia berada di dalam sebuah kotak kaca bernama inkubator.
Aku tak dapat memeluknya apalagi menggendongnya, aku hanya bisa memasukkan tanganku melalui 'jendela' kecil di sisi inkubator dan mengusap pelan kepalanya, memegang lembut tangannya, aku hanya bisa berkata dalam hati,"Anak cantik, yang kuat yah, cepat sehat agar kita bisa pulang ke rumah.", aku yakin dia akan merasakannya.

Ibu mana yang tak bersedih saat menyaksikan buah hatinya dalam keadaan seperti itu?
Demikian juga denganku, rasanya sesak dan ingin menangis, namun aku tahu aku harus tetao kuat dan tersenyum, Kirana butuh energi positif, dia butuh kekuatan.

Selama berada di NICU, aku tak bisa menemani Kirana selama 24jam, aku hanya diperkenankan menjenguknya sesuai jadwal yang ditentukan.
Saat bertemu dengan salah satu dari tim dokter, beliau mengatakan,"Anak ibu dagunya kecil, dia pirobin.", aku pun bingung, aku tak pernah mendengar istilah tersebut sebelumnya, hingga akhirnya aku mencoba mencari info dengan cara browsing, aku memakai kata kunci 'dagu kecil, pirobin', dan akhirnya muncul lah beberapa info mengenai Pierre Robin Syndrome atau Pierre Robin Sequence, akhirnya aku mengetahui bahwa kelainan langka itu bernama Pierre Robin Sequence/Syndrome (PRS), meski saat itu kupikir PRS bukanlah masalah besar, karena kala itu yang kubaca di sebuah situs lokal, dagu kecil pada PRS akan berkembang dan mencapai ukuran normal di usia sekitar 3-18 bulan,"OK, it's not a big deal, i can handle it. Nanti akan berkembang dan semuanya akan baik-baik saja.", aku sama sekali tak menyangka bahwa PRS akan membawaku pada perjalanan panjang, teka-teki rumit dalam mencari 'diagnosa besar' bagi Kirana si peri imutku yang langka.

Sabtu, 25 Juni 2016

Hamil dan Melahirkan Putri Langkaku

Kehamilan ke 2 ku memang terasa lebih rewel jika dibandingkan dengan kehamilan pertamaku dulu, aku merasakan sakit saat duduk, sakit di area vagina, dan harus berjalan dengan sangat lambat jika baru bangun dari duduk karena rasa sakit tersebut, sakit ini kurasakan sejak usia kandungan sekitar 2 bulan sampai saat aku melahirkan, aku juga akan merasa mudah pusing dan mual jika terlalu lama berdiri atau kepanasan, aku mudah mimisan, hal yang tidak kurasakan ketika kehamilan pertama.

Kehamilan ke 2 ini juga cukup unik, karena aku bisa merasakan gerakan halus di perutku, sebelum aku tahu aku hamil, padahal ketika kehamilan ini terdeteksi, dokter memperkirakan usia kehamilanku masih kurang dari 4 minggu, hingga aku meyakini bahwa anakku ini adalah anak yang kuat, selain itu saat pertama aku melakukan tes kehamilan, yang awalnya muncul hanya 1 strip hingga aku pikir aku tak hamil, namun beberapa saat kemudian muncul 1 strip lagi yang sangat samar, sehingga aku ragu dan kemudian mengulang tes beberapa hari kemudian, dan hasilnya memang 2 strip.

Kurasa kehamilanku kali ini tidak ada masalah yang berarti, kurasa keluhan yang muncul hanya keluhan yang muncul pada umumnya ibu hamil, dokter pun tidak memberikan rambu adanya kejanggalan pada kehamilanku ini.

Aku memang masih gonta-ganti DSOG, mencari yang bisa membuatku merasa nyaman dan aman, mencari yang komunikatif dan kooperatif, hingga akhirnya aku memutuskan 1 nama, DSOG yang praktek di 2 RS incaranku untuk melahirkan, dan beliau juga yang pertama kali mencurigai ada yang janggal dengan kehamilan ini.
"Koq kayaknya ukuran janin agak kecil yah?", hal ini disampaikan ketika pertama kali aku bertemu beliau, saat itu usia kandunganku kisaran 5 bulan, dan beliau menyarankan untuk makan es krim setiap 3 hari sekali.
Saat itu aku merasa heran, kenapa tiba-tiba dikatakan demikian, aku coba merunut history USG yang ada di buku kesehatanku, dan ternyata memang ada yang janggal, namun saat itu aku masih denial, aku mulai berpikir bahwa ada salah satu dokter yang salah saat melakukan USG, namun aku tetap melakukan saran dokter untuk makan es krim setiap 3 hari sekali, dan rutin ANC (Antenatal Care), kebetulan untuk beberapa kali paska bertemu dokter yang kupilih ini, aku kembali tidak bertemu beliau, aku ANC dengan dokter yang lain, dan kembali tidak ada yang menyampaikan adanya kejanggalan pada kandunganku, hingga akhirnya saat kandunganku berusia sekitar 8 bulan, aku baru bertemu kembali dengan dokterku, dan hari itu beliau mengatakan,"Bu, ini PJT, Pertumbuhan Janin Terhambat, bukan tidak berkembang, hanya saja pertumbuhan janin ibu melambat. Sebaiknya ibu melakukan fetomaternal, saya rujuk yah bu."
Aku mulai merasa khawatir namun rasa denial itu masih ada, aku berusaha untuk terus mengatakan,"Janinku baik-baik saja.", namun sayangnya aku tak sempat melakukan fetomaternal, saat itu sedang musim hujan, banjir di mana-mana, dan suamiku juga sibuk dengan dinasnya.

Hingga hari itu tiba, 5 Februari 2014, tiba-tiba saja suamiku memintaku untuk bersiap-siap ANC, padahal dia sedang dinas jaga, Tuhan memang telah mengatur segalanya sedemikian rupa, hari itu menjadi ANC terakhirku, karena dokter memastikan janinku mengalami PJT, ketuban pun hanya 6, dan menyarankan terminasi, setelah dilakukan pematangan paru selama 3 hari, namun karena diperkirakan bayiku akan membutuhkan NICU (Neonate's Intensive Care Unit), maka beliau merujuk kami ke RS dengan fasilitas NICU, namun sebelumnya terlebih dahulu dilakukan CTG untuk mengetahui aktivitas janin dan denyut jantungnya, jika hasil CTG baik, maka kami diperkenankan berangkat keesokan harinya, namun jika jelek maka hari itu juga kami harus segera berangkat ke RS yang dituju. Alhamdulillah hasil CTG baik, sehingga kami bisa berangkat keesokan harinya.
Malam itu aku, dan suamiku, bertemu iparku yang kebetulan adalah perawat, kami bertemu di sebuah restoran 24jam yang memiliki fasilitas arena bermain agar Kasih juga bisa bersenang-senang, kami membicarakan kemungkinan yang akan terjadi, dan memutuskan memilih sebuah RS di kawasan Jakarta Barat untuk mencari 2nd opinion, malam itu kami ngobrol hingga sekitar jam 00, rasanya aku tak ingin melakukan terminasi, aku masih denial, aku masih ingin bayiku lahir di waktu yang dia inginkan, bukan karena terminasi, semua penolakan tersebut membuatku baru bisa tidur sekitat jam 3 pagi, padahal jam 4 pagi aku sudah kembali terjaga.

6 Februari 2014, kami bergegas berangkat setelah subuh, menuju rumah mertuaku terlebih dahulu untuk menitipkan Kasih, untunglah aku sudah banyak mengkomunikasikan hal ini kepada Kasih, sejak tahu aku hamil, aku sering bilang ke Kasih,"Nanti kalau dedenya mau lahir, mba Kasih sama mbah dulu yah, dedenya harus lahir di RS, mba Kasih kalau ikut nanti malah bisa kena sakit, karena RS banyak kumannya.", itulah yang sering aku ucapkan, aku juga menunjukkan kepada Kasih sebuah video proses persalinan, sambil mengatakan hal yang serupa, sehingga hari itu tak terlalu sulit meninggalkan Kasih di rumah mbahnya, dan kemudian barulah kami menuju RS mengendarai motor.
Hasilnya sama saja, dokter menjelaskan,"Janin ibu mengalami PJT, kemungkinan sejak awal kehamilan karena kecilnya simetris, mungkin karena pembuluh pada tali pusat yang kecil sehingga sulit mengantarkan makanan bagi janin terutama ketika janin semakin besar, makanya pertumbuhannya melambat, aliran darah ke janin juga meningkat, sehingga memang harus terminasi.", bahkan dokter ini menyarankan langsung terminasi hari itu juga, tanpa perlu melakukan pematangan paru, karena kandungan sudah cukup bulan, namun beliau menyerahan keputusan pada kami, dan memberikan kami waktu untuk berpikir. Aku dan suami merundingkan hal ini, rasanya masih tak percaya, aku masih denial, masih berharap tak perlu melakukan terminasi, namun pikiran rasionalku mulai mendesak, hasil pemeriksaan memang menunjukkan indikasi untuk dilakukan terminasi, aku juga bertanya kepada beberapa teman lainnya yang juga memiliki kompetensi di bidang ini, dan semua sarannya sama, aku pun mulai menangis, rasanya berat sekali harus mengalahkan ego dan mengakui bahwa kehamilanku harus diterminasi, hingga akhirnya aku dan suami memutuskan untuk mencari 3rd opinion, kami pun mencoba pergi ke sebuah RS di kawasan Jakarta Selatan.
Pemeriksaan kembali dilakukan, dan hasilnya tetap sama, kehamilanku harus diterminasi, namun karena fasilitas NICU maupun perina di RS tersebut penuh, kami pun memutuskan untuk kembali ke RS di kawasan Jakarta Barat.

Waktu menunjukkan jam 3 dini hari, ketika aku berada di UGD, 7 Februari 2014, aku harus benar-benar mengalahkan egoku, kehamilanku harus diterminasi demi menyelamatkan jiwa anakku, rasanya sesak di dada, aku ingin menangis,"Maafkan mama nak, mama gak bisa memberikan 'rumah' yang nyaman di dalam sana, kamu harus segera dilahirkan, yang kuat yah sayang, kita sama-sama berjuang, bantu mama.", hanya itu yang bisa terus aku katakan di dalam hati, sambil mengusap perutku.
Beberapa saat kemudian aku dipindahkan ke ruang persalinan (VK), dan dikabari bahwa proses induksi akan dilakukan sekitar jam 6, aku sedikit lega karena itu artinya aku bisa tidur sejenak setelah semua perjalanan melelahkan yang telah aku lalui.
Sekitar jam 6.00 proses induksi dimulai, aktivitas janin terus dipantau dengan CTG secara berkala, gelombang cinta itu mulai datang, aku pun tersenyum,"Yang kuat yah nak, ayo bantu mama, buka jalan lahirmu, kita berjuang sama-sama.", aku terus berkata dalam hati, sambil mengusap perutku, aku percaya bahwa anakku akan mendengarkan aku.
Selama proses induksi, aku masih bisa melakukan aktivitas seperti biasa, aku bisa makan, minum, ngobrol, tidur, bercanda, jalan, dsb, semua dijalani dengan santai.
Sekitar jam 13, dilakukan pemeriksaan dan telah ada pembukaan 1 menuju 2, kemudian sekali lagi obat induksi pun diberikan, dan pemantauan CTG terus dilakukan secara berkala, sekitar jam 18 kembali dilakukan pemeriksaan, baru pembukaan 2,"Ayo anak kuat, anak pintar, bantu mama, buka jalan lahirmu."

Waktu terus berlalu, gelombang cinta yang kurasakan terasa semakin kuat, hingga aku mulai sulit beristirahat, namun masih bisa tidur sekitar 15menit, dan aku terbangun, aku merasakan gelombang yang cukup kuat, dan juga ada cairan yang mengalir di vagina, kupikir ketuban pecah, aku pun turun dan berjalan ke kamar mandi untuk memeriksa sekaligus buang air kecil, ternyata bukan ketuban melainkan lendir darah yang cukup banyak, aku kembali ke kasur, kulihat suamiku meringkuk di sisi kasur, dia pasti sangat lelah, aku kembali merebahkan tubuhku, miring, dan aku kembali merasakan gelombang yang sangat kuat hingga tubuhku bergerak gelisah, dan suamiku terbangun, menyadari kondisiku dia langsung mencari bantuan, kemudian segera dilakukan pemeriksaan, dan ternyata sudah pembukaan lengkap,"Ini dia saatnya, terima kasih sayang, anak kuat, sebentar lagi kita akan bertemu.", dokter pun datang memberikan aba-aba dan bantuan, tepat jam 1.35, setelah proses induksi selama sekitar 18,5 jam, tanggal 8 Februari 2014, bayiku lahir, dengan berat hanya 2037gr, panjang 43cm dan lingkar kepala 30cm, tak kudengar suara tangisnya, tak bisa kupandangi wajahnya, aku hanya bisa melihat tubuh mungilnya dikelilingi tenaga kesehatan, entah apa yang mereka lakukan, semua begitu cepat hingga bayiku dibawa pergi ke NICU, dia mengalami asfiksia.

Aku lega sekaligus cemas,"Ada apa dengan bayiku? Mengapa mereka tidak mengijinkan aku memandangnya meski sejenak?", hingga suamiku kembali dan berkata,"Bayinya perempuan, suster pada bilang pirobin, gak tahu apa itu.", sekali lagi aku keheranan, aku tidak pernah tahu apa itu pirobin, namun aku menyimpan keherananku itu untuk memilih nama bagi bayi mungil kami, dan kami pun sepakat memberinya nama Kirana Aisha Putri Wibowo, kami berharap putri kami yang cantik bercahaya, akan selalu sehat dan riang.
Aku tak sabar ingin melihat bayiku, tapi aku harus menunggu hingga jam besuk tiba karena dia berada di NICU, dan kami hanya diperkenankan menjenguknya sesuai waktu yang ditentukan.